Kesiapan Bertransformasi

Kesiapan Bertransformasi

Mengingat perubahan lingkungan yang makin dinamis, perusahaan dihadapkan pada keharusan menjalankan perubahan baik dalam strategi, struktur, proses, maupun budaya. Banyak faktor penentu efektivitas sebuah perubahan. Salah satunya adalah kesiapan terhadap perubahan. Kesiapan bertranformasi tecermin dari keyakinan, sikap, dan niat anggota organisasi berkaitan dengan sejauh mana perubahan diperlukan dan juga terhadap kapasitas organisasi untuk menyukseskan perubahan itu.

Terdapat tujuh aspek kesiapan terhadap perubahan, yaitu persepsi terhadap kesiapan perubahan, pemahaman terhadap visi untuk perubahan, rasa saling percaya dan kerja sama, inisiatif perubahan, dukungan manajemen terhadap perubahan, penerimaan terhadap perubahan, dan pengelolaan organisasi terhadap perubahan. Marilah kita bahas satu per satu

Pertama, persepsi terhadap kesiapan perubahan.  Persepsi karyawan terhadap kesiapan perubahan dapat menjadi faktor penting dalam memahami sumber resistensi terhadap perubahan. Persepsi ini dapat membantu namun juga dapat menghalangi efektivitas perubahan. Membangun monentum, semangat, dan dukungan terhadap perubahan adalah komponen-komponen penting dalam setiap inisiatif perubahan. Sikap terhadap perubahan juga dapat memengaruhi moral, produktivitas, dan tingkat keluar masuk karyawan.  Persepsi ini dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu. Juga belum tentu sama untuk setiap karyawan. Perubahan persepsi ini ditentukan oleh pengalaman, keterampilan, motivasi, dan sikap karyawan.

Kedua, pemahaman terhadap visi untuk perubahan. Sebuah visi strategis mengartikulasikan perubahan yang diinginkan dari kondisi saat ini menuju kondisi yang dicita-citakan. Visi yang strategis membantu menjelaskan arah yang harus dituju oleh organisasi. Tanpa visi yang kredibel, usaha-usaha transformasi dapat membingungkan dan menuju arah yang salah.

Baca :   Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership

Menurut Kotter (1995) banyak masalah yang muncul akibat kurangnya pemahaman terhadap visi. Tanpa komunikasi yang terpercaya, karyawan akan menganggap perubahan tak perlu dilakukan dan  mustahil dicapai.  Akibatnya, mereka tidak akan termotivasi untuk melakukan perubahan, bahkan akan memberikan perlawanan. Visi perubahan, menurut Smith (2005),  bukan hanya menyangkut tujuan perubahan, melainkan juga mencakup pentingnya pembaruan, sifat dari perubahan yang telah direncanakan, dan kapabilitas organisasi dalam mengelola perubahan. Mengkomunikasikan visi perubahan harus disertai dengan adanya keteladanan, dilakukan secara berkala, dan dapat dipahami oleh karyawan.

Ketiga, rasa saling percaya dan kerja sama.  Kesiapan dan kapasitas individu dan organisasi terhadap perubahan harus didasarkan atas rasa saling percaya dan saling menghormati. Rasa saling percaya membuka peluang bagi anggota organisasi menyampaiklan pendapatnya, termasuk pendapat yang berbeda. Melalui keterlibatan yang aktif dan bermakna dalam proses perubahan, karyawan akan terbantu untuk melihat kaitan antara pekerjaan pribadi dan sikap dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. Rasa saling percaya juga sangat penting dalam membangun landasan bagi kerja sama  dalam organisasi.

Kegagalan menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya transformasi biasanya akibat meremehkan kesulitan dalam menghasilkan perubahan dan petingnya kerja sama yang efektif. Ingatlah bahwa perubahan yang diharapkan tidak akan mungkin bisa dicapai tanpa adanya kontribusi dari seluruh organisasi. Agar-usaha-usaha perubahan yang dilakukan berhasil, karyawan harus mempercayai bukan hanya manajemen melainkan juga rekan kerja.

Baca :   Mendobrak Silo Mentality Melalui Mobilitas Talenta

Keempat, inisiatif perubahan.  Langkah pertama menuju kesuksesan perubahan, menurut Kotter, adalah menciptakan rasa kedaruratan dan kebutuhan untuk perubahan. Pemimpin organisasi yang sengaja menciptakan semacam krisis biasanya bertujuan dirinya memiliki alasan untuk melakukan perubahan. Sebagai contoh adalah seorang eksekutif senior yang memesan sebuah survei kepuasan pelanggan yang ia tahu hasilnya akan berdampak buruk bagi perusahaan. Ia kemudian menekan perusahaan untuk mempublikasikan hasil survei tersebut.

Dengan mengungkap kesenjangan  antara situasi saat ini dengan situasi yang diharapkan, dan pada saat yang sama menyampaikan ekspektasi yang positif dan terpercaya guna mencapai perubahan, motivasi dan kesiapan untuk berubah dapat ditumbuhkan, baik pada tingkat individual maupun organisasi.

Kelima, dukungan manajemen untuk perubahan.  Pemimpin organisasi, baik formal maupun informal, harus memiliki komitmen yang kuat demi suksesnya implementasi dan institusionalisasi perubahan.  Di samping itu, sejauh mana kebijakan dan praktek-praktek dalam organisasi mendukung perubahan juga menjadi faktor penting dalam memahami bagaimana seorang karyawan mempersepsikan kesiapan terhadap perubahan. Ini dapat mencakup kebijakan dan prosedur yang fleksibel, dan juga dukungan sistem danb logistik. Tingkat kepercayaan terhadap manajemen dapat menumbuhkembangkan persepsi bahwa organisasi tahan terhadap perubahan yang cepat.

Keenam, penerimaan terhadap perubahan.  Bila dicermati, sebenarnya bukan perubahan itu sendiri yang ditolak oleh anggota organisasi, melainkan ketidakpastian dan potensi hasil dari perubahan itu. Penolakan ini dapat menarik perhatian orang kepada aspek-aspek yang justru tidak sementinya dalam proses perunahan. Menghadapi situasi ini, manajer harus didorong untuk mencari metode alternatif untuk memperkenalkan perubahan. Komunikasi dan konsultasi dengan karyawan harus dilakukan secara berkala. Ini boleh jadi menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan dalam mengimplementasikan perubahan. Karyawan harus diberi kesempatan untuk terlibat pada seluruh aspek dalam proyek perubahan dan juga kesempatan untuk memberi umpan balik. Kerja tim yang melibatkan manajemen dan karyawan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh organisasi. Manajer harus memfasilitasi kerja tim, memberdayakan karyawan agar terlibat, dan membangun lingkungan yang kondusif .  

Baca :   Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Dari Tukang Cuci Jadi Raja Oleh-Oleh Bali: Kisah Inspiratif Ajik Krisna

Dan ketujuh, mengelola perubahan.  Memimpin dan mengelola perubahan mensyaratkan pemimpin yang karismatik, yang memiliki kapasitas untuk belajar dan mengadipsi teknologi. Dalam proses ini, pembelajaran dalam organisasi ditumbuhkembngkan dalam lingkungan yang terbuka, saling mempercayai. Sebuah lingkungan yang memungkinkan anggota organisasi dapat menguji perubahan tanpa takut adanya ancaman.  Pemimpin yang karismatik sangat penting mengingat mereka memberikan visi, arah, dan energi demi kemajuan perusahaan. Namun karisma saja tidak cukup demi terbentuknya organisasi yang berdaya saing. Kepemimpina yang karismatik harus didukung oleh kepemimpinan yang transformatif melalui manajemen yang visioner, dengan berfokus pada perubahan peran, struktur, dan imbalan.

Kategori: Business & Organization Transformation

#kesiapanterhadapperubahan

#persepsiterhadapkesiapanperubahan

#visi

#inisiatifperubahan

#penerimaanterhadapperubahan

#mengelolaperubahan

Dari buku: Manajemen Strategik Komprehensif. A. B. Susanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait