Pertempuran iklan antara larutan Cap Kaki Tiga dan Cap Badak, tengah berlangsung. Pertempuran ini terjadi di segala lini, termasuk di ranah hukum. Sejarah larutan penyegar Cap Badak sejatinya berkaitan dengan sejarah merek yang saat ini menjadi seteru utamanya, Cap Kaki Tiga. Pada tahun 1978, PT. Sinde Budi menerima lisensi untuk penggunaan merek dagang Cap Kaki Tiga dari Wen Ken Drug Singapore. Namun kemudian Wen Ken Drug Singapore mengalihkan lisensi itu kepada PT. Kinocare Era Kosmetindo. Konsekuensinya, PT. Sinde Budi tidak boleh lagi menjual merek Cap Kaki Tiga. Sebagai gantinya, PT. Sinde Budi mengeluarkan produk larutan penyegar dengan merek Cap Badak.
Pecah kongsi tatkala seperti ini lumrah terjadi. Franchisee, pemegang lisensi, atau distributor yang merasa berjasa membesarkan merek tentu tidak tinggal diam. Jika produk tersebut mudah ditiru, tentu mereka akan membuat merek tandingan. Jika produknya berteknologi tinggi, mereka mengambil produk kompetitor untuk dibesarkan.
Ternyata dalam perkembangannya, Cap Badak mampu bersaing dengan Cap Kaki Tiga. Meski demikian, Jony Yuwono dari PT. Sinde Budi mengatakan bahwa isu pergantian merek ini bukanlah hal yang mudah. Untuk mendidik pelanggan, menurut Budi, perusahaannya memerlukan waktu kurang lebih setahun. Usaha ini, menurut Budi membawa hasil positif. Ia menarik kesimpulan ini berdasarkan sebuah hasil survei, yang mengungkapkan bahwa orang lebih mengingat gambar badak ketimbang tulisan merek.
Setelah kehilangan hak menggunakan nama Cap Kaki Tiga, keputusan PT. Sinde Budi mengeluarkan nama dan logo baru untuk produk larutan penyegarnya memang langkah yang logis. Meskipun bisa dikatakan melahirkan merek baru, tapi latar belakang historis serta kemiripan visual dan pola komunikasi yang diterapkan, namun strategi inilah yang dijalankan lebih mirip dengan dengan pemerekan kembali (rebranding).
Pemerekan kembali bisa dilakukan terhadap nama, logo, ataupun slogan. Tujuannya membangun identitas baru untuk kemudian ditanamkan di benak pelanggan, investor, pemasok, dan juga pesaing. Pemerekan kembali dapat dilakukan untuk merek baru, merek mapan, maupun yang masih dalam tahap pengembangan.
Banyak alasan di balik pemerekan kembali. Terbanyak, untuk membedakan diri dengan merek pesaing. Alasan berikutnya adalah mengikis citra negatif. Misalnya, Philip Morris Companies Inc. mengubah namanya menjadi Altria Group, Inc. Perusahaan dengan nama baru ini adalah pemilik Philip Morris USA, divisi produk-produk tembakau yang menaungi merek seperti Marlboro dan Benson & Hedges. Tujuannya mengatasi konotasi negatif produk tembakau, yang dikhawatirkan berdampak buruk bagi merek-merek Philip Morris yang lain semisal Kraft.
Alasan lain, untuk mengatasi kehilangan pangsa pasar. Saat Steve Jobs kembali ke Apple, ia mengubah nama Apple Computer menjadi Apple. Tujuanya agar dapat menjual produk selain komputer, yang persaingannya sudah sangat ketat. Terbukti kemudian Apple dapat menjual iPod dan iPhone yang sukses besar.
Merger dan akuisisi juga dapat memicu pemerekan kembali. Biasanya, perusahaan yang melakukan akuisisi menamai kembali produk-produk yang diakuisisi sehingga konsisten dengan lini produk yang sudah ada. Contohnya, saat mengakuisisi Quaterback, Symantec, produsen antivirus, menamai CleanSweep menjadi Norton CleanSweep. Kemudian, Symantec mereposisi seluruh lini produknya dengan mengelompokkan produk-produknya ke dalam kumpulan yang disebut Norton SystemWork.
Apapun alasannya, perlu diingat tidak semua pemerekan kembali berhasil. Agar sukses, kualitas produk dan pemahaman yang komprehensif terhadap pasar sasaran merek baru wajib menjadi prioritas. Selain dari sisi pemasaran, faktor sumber daya manusia tak boleh dilalaikan. Terutama menanamkan antusiasme karyawan terhadap usaha-usaha pemerekan kembali, yang tujuan akhirnya adalah kebanggaan terhadap merek baru.