Di tengah bisnis yang makin cepat tumbuh dan makin kompetitif, muncul dua fenomena menarik yang saling terkait: founder fatigue (kelelahan pendiri) dan mantan karyawan yang beralih menjadi pendiri bisnis baru. Fenomena ini kian relevan seiring tingginya tekanan yang dihadapi para pendiri bisnis, apalagi bisnis rintisan, serta semakin menggeloranya semangat kewirausahaan di kalangan profesional muda dan menengah.
Mengenal Fenomena Founder Fatigue
Founder fatigue adalah kondisi kelelahan mental, emosional, dan fisik yang sering dialami oleh pendiri perusahaan akibat tekanan tanpa henti dalam membangun dan mempertahankan bisnis. Istilah ini makin populer dalam beberapa tahun terakhir seiring maraknya bisnis rintisan dan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental di tempat kerja.
Di fase awal pertumbuhan bisnis, pendiri biasanya menjalankan berbagai tanggung jawab berat. Mulai dari pengembangan produk, mencari pendanaan, merekrut tim, hingga mengelola operasi bisnis sehari-hari. Minimnya dukungan sistem serta tuntutan untuk selalu tampil sebagai sosok visioner, bahkan sempurna, seringkali membuat banyak founder merasa terisolasi dan kelelahan.
Biasanya, founder fatigue ditandai oleh surutnya semangat dan motivasi berkarya dan berinovasi, khawatir terhadap masa depan bisnis, kelelahan fisik dan mental, mandeknya pengambilan keputusan dan kreativitas, dan perasaan terjebak dalam bisnis yang dirintisnya sendiri. Jika lama dibiarkan, situasi ini dapat memicu pengambilan keputusan bisnis yang kurang tepat, ketidakharmonisan dalam tim, bahkan kebangkrutan perusahaan.
Mengapa Founder Mengalami Kelelahan?
Ada beberapa hal yang menyebabkan founder fatigue. Pertama, kondisi keuangan yang terbatas dan prospek yang belum jelas. Kondisi ini menciptakan beban mental berat, terutama ketika pendiri harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana investor.
Kedua, bejibunnya peran yang harus dijalankan. Seorang pendiri sering merangkap berbagai posisi, mulai dari CEO, CFO, hingga staf layanan pelanggan. Tuntutan multitasking ini menguras energi dan berdampak buruk pada kesehatan mental.
Ketiga, tidak seperti karyawan biasa, pendiri sering kali tidak memiliki atasan atau rekan kerja yang bisa diajak berbagi beban. Kesepian dalam mengambil keputusan penting bisa sangat menguras emosi.
Keempat, tuntutan untuk terus bertumbuh cepat. Target tinggi, baik dari pasar maupun investor, memaksa pendiri untuk terus bekerja tanpa jeda. Hal ini lambat laun menyebabkan founder fatigue.
Ketika Karyawan Memilih Jadi Pendiri

Di satu sisi, ada pendiri yang memengalami founder fatigue. Di sisi lain, ada pula orang yang sudah mapan statusnya sebagai karyawan namun kemudian mundur dan memulai usaha. Ada berbagai alasan untuk itu. Mulai dari ingin mewujudkan cita-cita yang sejak awal ingin jadi pengusaha, faktor keterpaksaaan karena menjadi korban PHK, dari ketidakpuasan terhadap keputusan manajemen atau budaya kerja yang dianggap beracun, memanfaatkan peluang bisnis yang muncul saat masih berstatus karyawan, hingga ingin memanfaatkan jejaring yan sudah lama terbangun.
Contoh karyawan yang sudah mapan, tetapi kemudian meninggalkan perusahaannya adalah Brian Acton dan Jan Koum. Keduanya adalah mantan karyawan Yahoo! yang keluar karena frustrasi dan ingin membangun sesuatu yang lebih bermakna.
Mengutip forbes.com, Acton frustrasi dengan apa yang disebut “pendekatan Nascar” portal Web tersebut yang memasang iklan di seluruh halaman Web. Dorongan untuk mendapatkan pendapatan dengan mengorbankan pengalaman produk yang baik “memberikan kesan buruk di hati saya.” Mereka kemudian mendirikan WhatsApp, yang akhirnya diakuisisi oleh Facebook senilai 19 miliar Dollar AS. Ini adalah contoh klasik eks-karyawan korporasi besar yang menjadi founder disruptif.
Hubungan
Kedua fenomena ini (founder fatigue dan karyawan yang memilih jadi pendiri) sebetulnya bisa jadi saling terkait. Ketika seorang pendiri bisnis tidak lagi punya energi untuk mengurusi bisnisnya, dia mulai menyerahkan kendali kepada orang lain, menjual bisnis, atau mundur dari aktivitas operasional. Setelah itu, ada kesempatan bagi bekas karyawan untuk mengambil alih tongkat estafet—entah dengan membeli saham, membuat spin-off, atau memulai perusahaan baru dengan pendekatan berbeda.
Contohnya adalah Kevin Systrom dan Mike Krieger. Keduanya adalah pendiri Instagram. Pada 2012, Instagram dibeli Facebook. Namun, saat itu mereka tetap menduduki posisi manajemen di Instagram. Kemudian, ada laporan bahwa Systrom berupaya mempertahankan independensi Instagram dan hal ini berdampak pada staf di Facebook dan Instagram yang cenderung tidak mau bekerja sama.
Pengaruh Systrom dan Kreiger pun mulai memudar. Seorang sumber yang berbicara kepada BBC mengungkapkan bahwa hal ini terjadi karena semakin banyak eksekutif Facebook yang dialihkan untuk mengelola Instagram. Akhirnya, mereka kemudian memutuskan mundur pada 2018 karena merasa “kehilangan kendali visi” dan tidak lagi menikmati proses membangun.
Mendefinisikan Ulang Peran Pendiri dan Karyawan

Fenomena founder fatigue diatas membawa dampak signifikan. Pendiri perusahaan tidak harus memegang kendali selamanya. Adakalanya, pergantian kepemimpinan justru dapat membawa angin segar bagi organisasi. Namun, tak cukup sampai di sini. Perusahaan harus memandang karyawan bukan sekadar tenaga kerja, tetapi sebagai calon pemimpin di masa depan, baik di dalam perusahaan maupun di ekosistem yang lebih luas. Tak kalah penting adalah menjaga kesehatan mental pendiri. Jika kesehatan mental buruk, pendiri bisa kehilangan fokus atau bahkan mengalami burnout di tengah perjalanan bisnis.
Perusahaan perlu membangun hubungan yang baik dengan mantan karyawannya. Di era kolaborasi seperti sekarang, mantan karyawan yang mendirikan bisnis baru bisa menjadi mitra strategis. Bukan saatnya lagi memandang mantan karyawan sebagai pesaing, bahkan menganggap mereka sebagai pengkhianat.