Di Amerika Serikat (AS), ada undang-undang yang disebut dengan The Foreign Corrupt Practices Act of 1977, atau FCPA. Berdasarkan kebijakan FCPA, orang atau perusahaan yang beroperasi di AS dilarang memberikan uang atau hadiah kepada pejabat asing untuk memenangkan atau mempertahankan kesepakatan di negara-negara tersebut.
Mengutip APNEWS, kebijakan FCPA tidak mengharuskan uang atau hadiah tersebut benar-benar dibayarkan, tetapi hanya ditawarkan. Hukuman bagi yang terbukti bersalah adalah penjara hingga 20 tahun, dan perusahaan menghadapi denda dua kali lipat dari keuntungan mereka dari kesepakatan terlarang tersebut. Itu kerap berarti pembayaran ratusan juta, bahkan adakalanya miliaran dolar.
Undang-undang ini telah digunakan ratusan kali dalam dekade terakhir untuk menghentikan suap demi memenangkan kesepakatan, yang mengarah pada pembayaran penyelesaian dalam jumlah besar dari perusahaan multinasional seperti Goldman Sachs, Siemens dari Jerman, dan Glencore, perusahaan asal Swiss yang berdagang komoditas.
Kebijakan FCPA di Mata Donald Trump
Presiden AS, Donald Trump, punya pendapat tentang hal ini. Trump mengatakan undang-undang tersebut ditegakkan dengan cara yang “berlebihan dan tidak terduga” sehingga perusahaan-perusahaan AS bersaing di “lapangan bermain” yang tidak seimbang dengan pesaing asing. Ia juga mengatakan undang-undang tersebut “menguras sumber daya” dari penegakan hukum dan merugikan kepentingan nasional AS karena perusahaan-perusahaan dihambat dari kesepakatan yang akan memberi AS akses ke pelabuhan laut dalam, mineral penting, dan aset lainnya.
Trump memang tidak dapat membatalkan kebijakan FCPA. Meski demikian, ia dapat mengubah bagaimana cara undang-undang tersebut diterapkan. Trump mengeluarkan perintah eksekutif berisi “penghentian sementara” selama 180 hari untuk semua investigasi berdasarkan FCPA saat sedang ditinjau. Ia juga memerintahkan agar tidak ada investigasi baru yang dibuka selama periode tersebut. Perintah tersebut juga mengatakan akan menghentikan “tindakan” Departemen Kehakiman lainnya berdasarkan FCPA. Trump mengatakan jeda ini juga diperlukan agar pemerintahannya memiliki waktu membuat pedoman baru yang “wajar” tentang cara menegakkan hukum yang tidak merugikan perusahaan-perusahaan AS dalam melakukan transaksi luar negeri.
Kebijakan FCPA diberlakukan setelah Securities and Exchange Committee (SEC, semacam OJK di Indonesia) pada tahun 1970-an menemukan lebih dari 400 perusahaan AS melakukan pembayaran yang meragukan atau ilegal kepada pejabat asing untuk memenangkan bisnis. Sejak diberlakukan, banyak perusahaan AS mengeluh bahwa undang-undang itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan dan tidak adil karena suap merupakan hal yang lumrah di beberapa negara. Kemudian, di bawah tekanan AS, negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberlakukan FCPA versi masing-masing.
Dampak Penerapan Kebijakan FCPA

Apa implikasi dari perintah eksekutif Trump di atas? Undang-undang seperti FCPA diberlakukan untuk memastikan perusahaan mematuhi etika dan hukum, di mana pun mereka berbisnis. Jika aturan dalam undang-undang tersebut tidak ditegakkan, hal ini akan mencoreng citra AS berikut perusahaan-perusahaannya, yang selama ini dikenal menjadi kampiun tata kelola dan etika bisnis.
Dalam jangka pendek, memberikan uang atau hadiah kepada pejabat untuk memenagkan bisnis boleh jadi membuat proses lebih cepat. Secara finansial, juga menguntungkan. Namun dalam jangka panjang, reputasi perusahaan rusak, termasuk negara asal perusahaan tersebut.
Risiko Praktik Penyuapan (Bribery) dalam Dunia Bisnis
Dalam kasus semacam kebijakan FCPA, bisa saja investigasi dihentikan. Namun tidak ada jaminan bawa penegak hukum di negara lain tidak akan menjerat perusahaan atau individu yang terlibat penyuapan. Di samping itu, penyuapan dan korupsi bisa jadi candu. Sekali mencoba bisa ketagihan lantaran merasakan nikmatnya meski diharamkan oleh hukum.
Risiko lainnya adalah adanya kaitan antara tingginya tingkat korupsi dengan kestabilan sebuah negara. Merujuk kepada Corruption Perceptions Index (CPI) yang setiap tahun diterbitkan oleh Transparency International, negara yang secara sosial, ekonomi, dan politik tidak stabil memiliki CPI yang rendah, yang berarti korupsi merajalela. Ketidakstabilan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Padahal, bisnis membutuhkan kepastian hukum agar aktivitasnya berjalan lancar.
Keputusan Trump untuk menghentikan penegakan FCPA bisa memicu negara lain melakukan hal serupa. Pemberantasan korupsi menjadi stagnan. Standar berbisnis merosot.
Sikap Dunia Usaha Terhadap Keputusan Trump
Bagi dunia usaha, upaya pelonggaran, bahkan penghentian kebijakan FCPA tidak boleh tidak menjadi alasan untuk melakukan korupsi dan penyuapan, sekecil apapun. Ini bukan hanya akan menjaga reputasi, melainkan juga mencegah keluarnya biaya terkait dengan hukum, membangun budaya kerja positif dan kondusif, menciptakan kepuasan dan kesetiaan karyawan, meningkatkan produktivitas, menciptakan keunggulan bersaing berbasis kompetensi, memperkuat kendali internal dan sistem manajemen risiko, dan mempromosikan akuntabilitas.

Dalam mencegah serta memerangi penyuapan, peran pimpinan korporat sangatlah penting. Tanggung jawab mereka tidak hanya terbatas pada kepatuhan terhadap persyaratan hukum, tetapi juga pada pengembangan budaya integritas dan perilaku etis.
Paling utama, pemimpin harus meneladani karyawan dalam berperilaku etis dan anti penyuapan. Tidak boleh bertoleransi sedikitpun pada penyuapan. Selanjutnya membuat aturan dan pedoman yang jelas tentang antipenyuapan. Jangan lupa mengembangkan budaya transparansi dan akuntabilitas. Termasuk melindungi para peniup peluit, orang yang mengungkapkan suatu kasus kejahatan, biasanya bagian dari lingkar kejahatan tersebut. Audit harus dilakukan secara berkala untuk mengidentifikasi risiko korupsi dan penyuapan. Berilah sanksi bagi yang melakukan pelanggaran tanpa pandang bulu.
#Donald Trump #FCPA #Kebijakan FCPA #SEC #etika #penyuapan #Corruption Perceptions Index #Transparency International #pemimpin #reputasi #peniup peluit
Related Posts:
Menyelami Nilai-Nilai Kepemimpinan Suku Minangkabau
Digital Detox untuk Pemimpin: Mengurangi Ketergantungan Terhadap Teknologi
Integritas Pemimpin Ketika Diuji: Pelajaran Berharga dari Kasus eFishery
Dead Horse Syndrome: Mengenali Waktu Tepat untuk Berubah dalam Kepemimpinan
Tantangan Nyata Dibalik Kegagalan Pemimpin Menangani Superstar