Salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan multinasional (MNC) adalah menyikapi perbedaan etika bisnis antara negara asal perusahaan dan negara-negara tempat mereka beroperasi. Pasalnya, etika bisnis tidak bersifat universal—ia dibentuk oleh budaya, agama, norma sosial, dan sistem hukum yang berbeda di setiap wilayah. Hal ini menimbulkan dilema: haruskah perusahaan mengikuti etika lokal atau tetap berpegang pada standar etika global mereka?
Konflik Nilai dan Budaya
Etika bisnis adalah seperangkat prinsip moral dan nilai-nilai yang menjadi panduan dalam menjalankan kegiatan bisnis. Cakupannya meliputi berbagai aspek, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab sosial, perlakuan terhadap karyawan, perlindungan konsumen, hingga kelestarian lingkungan.
Di tingkat lokal, etika ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi dan budaya masyarakat setempat. Sementara itu, dalam skala global, perusahaan multinasional umumnya memiliki kode etik atau nilai-nilai perusahaan yang bersifat universal. Namun, dalam praktiknya, perbedaan standar dan ekspektasi inilah yang sering memicu konflik dan kebingungan.
Bayangkanlah sebuah perusahaan yang berasal dari negara A, yang tingkat korupsinya rendah membuka cabang di negara B, yang tingkat korupsinya tinggi. Di negara B, budaya “uang pelicin” masih sering dianggap sebagai bagian dari praktik bisnis sehari-hari. Padahal, perusahaan A ini memiliki kebijakan tegas yang melarang segala bentuk korupsi. Namun, manajer lokalnya dihadapkan pada tekanan untuk “menyesuaikan diri dengan norma setempat” agar proyek dapat berjalan tanpa hambatan.
Di satu sisi, perusahaan dari negara A memilih untuk fleksibel demi menjaga operasi bisnisnya. Di sisi lain, tetap konsisten pada prinsip antikorupsi bisa berarti kehilangan peluang atau menghadapi kesulitan di pasar lokal. Ini adalah salah satu tantangan etika paling umum yang dihadapi perusahaan multinasional saat beroperasi di berbagai belahan dunia.
Perusahaan Besar dan Dilema Etika Bisnis

Contoh nyata masalah perbedaan etika bisnis pada perusahaan multinasional cukup banyak. Salah satu yang cukup terkenal melibatkan Walmart di Meksiko. Raksasa ritel asal Amerika Serikat ini diselidiki karena diduga menyogok pejabat setempat agar proses perizinan ekspansi bisnisnya lebih cepat.
Di lapangan, tim manajemen lokal beranggapan bahwa suap adalah “biaya operasi” yang tak terhindarkan untuk bisa menjalankan bisnis secara efisien di Meksiko. Namun, kebijakan kantor pusat di AS sangat tegas menolak praktik suap dalam bentuk apa pun. Kasus ini membuktikan bahwa ketika pengawasan internal lemah dan ada tekanan tinggi untuk memenuhi target, pelanggaran etika rentan terjadi—meskipun perusahaan tersebut mengusung nilai-nilai global yang seharusnya mencegah hal itu.
Contoh lain dari masalah etika bisnis ini adalah Siemens AG (Siemens). Pada 2008, Siemens AG, perusahaan multinasional asal Jerman, terjerat skandal korupsi besar. Perusahaan ini dituduh menyuap pejabat pemerintah di sejumlah negara, termasuk Nigeria, Venezuela, Bangladesh, dan Rusia, untuk memenangkan proyek-proyek bisnis.
Sejumlah manajer lokal Siemens berargumen bahwa pemberian suap merupakan hal yang “wajar” dalam praktik bisnis di negara-negara tersebut. Namun, tindakan ini jelas melanggar hukum Jerman dan peraturan antikorupsi internasional, seperti Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) dari Amerika Serikat. Akibat skandal ini, Siemens harus membayar denda lebih dari 1,6 miliar Dollar AS—salah satu yang terbesar dalam sejarah korporasi pada masa itu. Insiden ini memaksa perusahaan untuk melakukan transformasi besar-besaran dalam sistem kepatuhan (compliance) dan tata kelola perusahaan (corporate governance).
Tantangan Etika Bisnis bagi MNC
Memang tak dapat dimungkiri, sebagai perusahaan yang beroperasi di banyak negara, MNC menghadapi sejumlah tantangan dalam menegakkan etika bisnis. Tantangan tersebut adalah konflik nilai dan budaya, dilema kepatuhan hukum, dan reputasi global.
Dalam perusahaan multinasional, manajer sering dihadapkan pada perbedaan nilai dan budaya yang kompleks. Misalnya, persepsi tentang waktu, hierarki, dan kesetiaan karyawan sangat berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Komunikasi blak-blakan, yang dianggap biasa di satu tempat, boleh jadi dipandang tidak sopan di tempat lain. Di sisi lain, karyawan lokal adakalanya memandang kebijakan perusahaan asing terlalu kaku dan sulit diterapkan dalam praktik sehari-hari. Kondisi ini dapat memicu penolakan, aksi tidak kooperatif, atau bahkan gelombang pengunduran diri secara diam-diam.
Tidak jarang, regulasi negara asal perusahaan berbenturan dengan praktik bisnis lokal. Sebagai contoh, Undang-Undang Anti-Suap AS (FCPA) melarang perusahaan Amerika memberikan sogokan kepada pejabat luar negeri. Namun, di negara-negara di mana “uang pelicin” merupakan hal yang lazim, perusahaan AS justru berisiko melanggar hukum jika mengikuti kebiasaan setempat. Situasi ini menciptakan dilema bagi manajer: bagaimana mematuhi aturan global sambil tetap membangun hubungan bisnis yang baik di tingkat lokal?
Di era digital, di mana informasi menyebar dengan cepat, skandal etika bisnis di satu cabang perusahaan dapat merusak citra seluruh korporasi secara global. Reputasi adalah aset tak berwujud yang sangat berharga, namun bisa hancur dalam sekejap hanya karena satu kesalahan di lokasi yang bahkan tidak strategis sekalipun.
Menyeimbangkan Etika Bisnis Global dan Lokal

Untuk dapat menyembangkan penerapan etika global dengan lokal, pertama-tama harus dirancang kebijakan yang luwes seraya mempertahankan nilai-nilai yang etis. Sebagai contoh, meskipun pemberian hadiah kecil mungkin dianggap sebagai bagian dari adat kesopanan di beberapa budaya, praktik suap harus tetap dilarang secara mutlak. Yang terpenting adalah menegaskan prinsip-prinsip pokok yang tidak bisa dikompromikan, seperti antikorupsi dan perlindungan hak karyawan.
Kedua, baik manajer ekspatriat maupun karyawan lokal perlu dibekali pelatihan yang mendalam tentang perbedaan etika bisnis dan budaya. Pelatihan ini tidak hanya sekadar formalitas, tetapi juga bertujuan untuk menumbuhkan empati dan pemahaman lintas budaya. Dengan kesadaran ini, para manajer dapat mengambil keputusan yang tidak hanya etis tetapi juga peka terhadap nilai-nilai lokal.
Ketiga menyediakan saluran pelaporan internal yang aman dan tepercaya, seperti hotline whistleblower, untuk mendeteksi potensi pelanggaran etika sedini mungkin. Langkah ini juga menunjukkan komitmen perusahaan dalam menegakkan standar etika secara konsisten.
Keempat, keteladanan pemimpin. Budaya etika dalam organisasi dimulai dari tingkat atas. Ketika para pemimpin menunjukkan integritas tinggi dan keselarasan antara perkataan dengan perbuatan, nilai-nilai tersebut akan meresap ke seluruh jenjang perusahaan.
Related Posts:
Dari Viral ke Klarifikasi: Mengelola Dampak Cancel Culture
Sisi Gelap Budaya Organisasi: Mengapa Budaya Toxic Tetap Hidup di Beberapa Perusahaan?
Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Nurul Atik, pendiri Rocket Chicken
Wealth Strategy Family Business: Belajar dari Keluarga Rothschild dan Vanderbilt
Rahasia Mengelola Holding Company yang Maju dan Lincah