Dampak PHK dan Transformasi

Dampak PHK dan Transformasi

Dampak PHK dan Transformasi. Transformasi organisasi acap kali memunculkan gambaran tentang perubahan radikal, penataan ulang organisasi, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau layoff. Banyak perusahaan memandang PHK harus selalu dilakukan demi mengefisienkan operasi, menyesuaikan diri dengan kebutuhan pelanggan, dan meningkatkan daya saing. Namun, benarkah transformasi identik dengan PHK? Bagaimanakah sebenarnya duduk persoalannya?

Anggapan bahwa PHK merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transformasi sebagian besar berakar pada pandangan tradisional tentang sebuah bisnis. Dalam pandangan ini, perusahaan yang sedang melakukan perubahan signifikan pastilah sedang mengalami tekanan finansial. Untuk mengurangi tekanan tersebut, mereka mengurangi biaya tenaga kerja. Alasannya? Besarnya komponen gaji karyawan signifikan dalam biaya produksi. Hal ini membebani kondisi keuangan perusahaan.

Di samping itu, PHK juga dianggap cara paling mudah untuk berhemat. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa manajemen memang serius membenahi perusahaan. Sinyal keseriusan inilah yang kerap ingin ditunjukkan perusahaan kepada investor dan pemegang saham. Namun di sisi lain, PHK berisiko menganggu reputasi perusahaan. Apalagi bila perusahaan bermudah-mudah dalam hal ini. Talenta unggul boleh jadi enggan melamar ke sana. Dari sisi karyawan, PHK jelas memukul moral mereka, bukan saja bagi mereka yang diberhentikan melainkan juga bagi yang tetap dipertahankan. Suasana kerja tidak lagi sama dengan sebelumnya. Karyawan senantiasa dibayang-bayangi kekhawatiran tentang masa depan mereka.

Baca :   Talent Drain: Saat Bintang Memutuskan Hengkang

Dalam rangka transformasi, PHK memang banyak dilakukan. Namun, banyak tak berarti semua. Artinya, banyak juga ditemukan perusahaan melakukan transformasi tanpa mem-PHK satu orang pun. Jika demikian, faktor-faktor apa sajakah yang menentukan apakah perusahaan perlu mem-PHK katyawannya atau tidak saat transformasi?

Harus diakui, pada sejumlah kasus, PHK memang tak terelakkan sebagai dampak transformasi. Hal ini terjadi misalnya, tatkala organisasi memang memerlukan pemikiran ulang secara mendasar terhadap pengelolaan sumber daya manusia (SDM)-nya. Misalnya, perusahaan memutuskan beralih kepada model bisnis digital secara penuh, dan pada saat yang sama tidak ada karyawan yang punya keterampilan digital yang dibutuhkan. Sedangkan pelatihan untuk meingkatkan keterampilan digital belum bisa dilakukan.

Dalam situasi demikian, PHK tidak mungkin dihindari. Contoh lainnya adalah tatkala perusahaan ingin mengalihkan fokusnya pada produk atau lini produk baru, atau memasuki pasar baru. Saat bersamaan, karyawan yang ada tidak memiliki kompetensi yang diperlukan. Jika demikian, PHK menjadi langkah strategis meskipun pahit. Dalam hal ini, perusahaan membutuhkan talenta baru dalam transformasi.

Pilihan Terakhir PHK dan Tranformasi

Bagaimanapun, perusahaan seyogianya tidak gampang melakukan PHK. Di samping merusak moral dan reputasi, ada biaya jangka panjang yang harus ditanggung, seperti pesangon, tunjangan, serta biaya rekrutmen dan pelatihan karyawan baru di masa depan. Belum lagi potensi masalah hukum (jika PHK dilakukan serampangan). Dampak negatif lainnya adalah kemungkinan hilangnya pengetahuan lantaran karyawan yang di-PHK membawa pergi pengetahuan yang berharga.

Baca :   The Threat of Gatekeeping

Oleh karenanya, PHK harus menjadi pilihan terakhir. Jika demikian, apa yang harus dilakukan agar transformasi berjalan mulus, dan bersamaan dengan itu tidak ada pengurangan karyawan?

Perusahaan bisa menugaskan karyawan untuk mempelajari keterampilan baru yang berbeda dari yang selama ini mereka miliki. Tujuannya untuk beralih kepada peran yang baru dalam organisasi. Ini biasanya terjadi ketika pekerjaan lama tidak lagi relevan.

Di perusahaan besar yang memiliki banyak departemen, fungsi, unit, atau apapun namanya, karyawan bisa dipindahkan ke tempat lain. Tentunya disesuaikan dengan kompetensi karyawan dan kebutuhan tiap-tiap bagian.

Kedua cara tersebut dapat menumbuhkan loyalitas dan produktivitas. Hal ini lantaran karyawan merasa diberdayakan, dihargai kontribusinya dan dijaga martabatnya. Di samping itu, suasana kerja dapat dijaga agar tetap kondisif.

Pemimpin berperan penting dalam kelancaran transformasi, termasuk terkait PHK. Jika pemimpin punya empati, transparan, mau mendengarkan, dan terampil berkomunikasi, kecemsan karyawan terhadap PHK akan berkurang. Tentunya, pemimpin tidak boleh lupa menjelaskan alasan perusahaan harus menjalani transformasi. Cara pandang pemimpin terhadap transformasi jika turut berdampak terhadap keputusan PHK. PHK akan mudah dilakukan pemimpin jika ia semata-mata memandang transformasi demi kinerja keuangan jangka pendek: dengan biaya sekecil-kecilnya, meraih untuk sebesar-besarnya. Berbeda halnya jika pemimpin melihat transformasi sebagai peluang bertumbuh, berinovasi, dan bertanggung jawab secaara sosial. Pemimpin yang demikian itu akan mencari solusi kreatif sehingga PHK sedapat mungkin bisa dihindari. Dalam jangka panjang, sang pemimpin akan mampu membangun budaya belajar dan perbaikan sehingga semua karyawan lebih tahan banting terhadap gejolak dan perubahan.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Faktor kunci lain yang memengaruhi keputusan PHK adalah keuangan perusahaan. Perusahaan yang sejak awal mampu mengelola keuangannya dengan baik lebih kecil kemungkinannya untuk mem-PHK karyawan saat dipaksa menjalani trasformasi. Termasuk di antaranya adalah kebijakan anggaran yang hati-hati, pemilihan serta pelaksanaan proyek secara cermat, dan manajemen risiko yang baik.

Kategori: Organization & Business Transformation

#phk #transformation #reputasi #biaya #pengetahuan #keterampilan baru #kompetensi #pemimpin #budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait