Bebek Lumpuh (Lame Duck): Ancaman Transisi Kepemimpinan dan Dampaknya Bagi Organisasi

Bebek Lumpuh (Lame Duck): Ancaman Transisi Kepemimpinan dan Dampaknya Bagi Organisasi

Istilah bebek lumpuh atau lame duck barangkali lebih dikenal dalam dunia politik. Istilah ini populer  di Amerika Serikat (AS). Ini adalah kondisi saat seorang pejabat (misalnya presiden) yang penerusnya telah terpilih dan akan menggantikannya dalam waktu dekat. Bebek lumpuh ini terjadi akibat pembatasan masa jabatan, pengunduran diri, pensiun yang sudah diatur sebelumnya, atau kalah dalam pemilu.Sebagai contoh, Barack Obama tidak boleh mencalonkan diri lagi pada pemilihan presiden AS 2016 karena sudah menjabat dua periode.  Pada Pilpres awal November 2026, Donald Trump memenangkan pilpres. Namun, ia baru dilantik pada 21 Januari 2017.  Jadi, antara awal November 2016 hingga 20 Januari 2017, Obama disebut lame duck.   Empat tahun berikutnya, 2020, giliran Trump yang jadi lame duck karena kalah dalam pilpres dari Joe Biden. Tradisi ini sudah berlangsung lama.

Namun, istilah bebek lumpuh ini ternyata dapat juga berlaku dalam lingkungan korporasi atau organisasi lainnya. Contohnya pernah dialami Microsoft. Ketika Steve Ballmer mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO Microsoft pada 2013, perusahaan teknologi informasi yang didirikan Bill Gates ini mengalami kepemimpinan lame duck. Selama masa tersebut, Ballmer fokus menyelesaikan proyek-proyek penting, seperti akuisisi bisnis telepon seluler Nokia. Penggantinya, Satya Nadella, akhirnya mengambil alih dan memimpin Microsoft ke arah strategis baru, menekankan komputasi awan dan kecerdasan buatan. Kepemilikan Microsoft atas telepon seluler Nokia akhirnya dijual.

Memahami dinamika bebek lumpuh sangat penting untuk memastikan kelancaran transisi dan menjaga stabilitas organisasi. Bebek lumpuh menghadapi sejumlah isu yang bisa berdampak bagi organisasi yang ia pimpin. Pertama, berkurangnya otoritas. Anak buah/pengikut, stakeholders, dan manajer di bawahnya bisa saja enggan mengikuti arahan sang bebek lumpuh. Toh bagi mereka, sebentar lagi ia “bukan siapa-siapa.”

Baca :   Pro Kontra Experiential Hiring

Karena tahu masanya akan berakhir, bebek lumpuh bisa saja bertukar orientasi, dari jangka panjang ke jangka pendek. Tujuannya untuk mengamankan legasi mereka serta menyelesaikan proyek yang sedang berjalan. Namun yang berbahaya adalah bila sang bebek lumpuh melakukan aji mumpung sehingga merugikan bukan saja pemimpin berikutnya namun juga pengikut dalam jangka panjang.

Pengambilan keputusan juga berpotensi lumpuh.  Pemimpin yang akan mengakhiri masa jabatannya bisa saja ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Mereka takut tidak mendapat dukungan untuk melaksanakan keputusan tersebut atau keputusan mereka akan dibatalkan oleh penerusnya.

Kondisi semakin rumit jika penerus sang bebek lumpuh berasal dari kubu yang bertolak belakang. Berbeda bisa dalam hal visi, kebijakan, gagasan, prioritas, dan sebagainya. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan. Apalagi jika bebek kumpuh mengatur sedemikian rupa sehingga penerusnya tak punya pilihan lain selain meneruskan kebijakan pemimpin sebelumnya.

Dari sisi karyawan organisasi, pemimpin berstatus bebek lumpuh bisa saja sulit menjaga karyawan agar tetap termotivasi dan fokus. Ketidakpastian mengenai kepemimpinan di masa depan dapat mengakibatkan prodduktivitas anjlok dan lunturnya semangat kerja.

Mengantisipasi Dampak Bebek Lumpuh

Agar transisi kepemimpinan berjalan mulus, prinsip utama yang harus dipegang teguh adalah bahwa semua pihak harus mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Baik pemimpin yang segera berakhir jabatannya naupun penggantinya harus duduk bersama mendiskusikan rencana dan jadwal masing-masing. Mereka harus meyakinkan bahwa semua pihak tak perlu mencemaskan kesinambungan, stabilitas, dan komitmen terhadap pertumbuhan  organisasi. Hal ini dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan menjaga semangat kerja.

Pemimpin yang akan selesai menjabat dan penggantinya harus saling bersedia untuk berbagi sumber daya, informasi, dan wawasan seputar organisasi. Penerus harus berlapang dada mengakui hal-hal baik dari si bebek lumpuh yanhg memang bisa dilanjutkan. Sebaliknya, pemimpin yang akan selesai bertugas harus berbesar hati jika kelak kebijakannya tak dilanjutkan oleh penerusnya. Boleh jadi, hal tersebut dilakukan mengingat perkembangan zaman dan situasi terkini  sehingga perubahan harus dilakukan. Yang harus dihindari adalah jika perubahan semata-mata dilakukan demi menghapus jejak pendahulu hanya karena kebencian atau “tidak satu kubu”.

Baca :   Turnover Contagion: Menyikapi Gelombang Pengunduran Diri yang Mengancam Stabilitas Tim

Selama masih  menjabat, betapa pun singkatnya, seorang peimpin harus meemprioritaskan penyelesaian proyek atau agenda mereka. Dengan demikian, mereka dapat meninggalkan jejak positif dan memastikan bahwa kontribusi mereka mempunyai dampak yang bertahan lama.

Selain Microsoft, contoh transisi dari lame duck kepada penerusnya ini dapat kita lihat di General Electric (GE). Jeff Immelt mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO GE pada Juni 2017, setelah 16 tahun memimpin. Selama masa jabatannya, Immelt memimpin perubahan signifikan di dalam perusahaan, termasuk peralihan ke bisnis digital dan industri. Namun, kepergiannya terjadi pada saat GE menghadapi tantangan keuangan yang besar, termasuk penurunan harga saham dan kinerja divisi yang buruk.

Selama masa transisi, Immelt dianggap sebagai  bebek lumpuh. Meskipun ia tetap terlibat dalam operasional perusahaan hingga serah terima resmi, pengaruhnya dianggap semakin berkurang. Karyawan, investor, dan pemangku kepentingan lainnya mulai mencari John Flannery, CEO baru, untuk mendapatkan sinyal tentang arah masa depan perusahaan. Hal ini menciptakan dinamika yang menantang, ketika Immelt berusaha menyelesaikan proyek yang sedang berjalan dan mempersiapkan transisi yang mulus, sementara Flannery mulai menguraikan visinya untuk masa depan GE.

Baca :   Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis

John Flannery, yang telah bekerja di GE selama lebih dari tiga dekade, mengambil alih jabatan CEO pada Agustus 2017. Dia segera me-reviewoperasi perusahaan, menandakan perubahan terhadap strategi Immelt. Flannery berfokus pada penghematan biaya, divestasi unit berkinerja buruk, dan menyederhanakan model bisnis GE. Pergeseran ini menimbulkan rasa ketidakpastian selama periode lame duck. Spekulasi pun beredar kencang.

Namun, masa jabatan Flannery sebagai CEO tidaklah lama. Pada Oktober 2018, ia digantikan oleh Larry Culp, menandai transisi kepemimpinan lainnya. Terlepas dari singkatnya masa jabatan Flannery, ada pelajaran yang dapat dipetik terkait kepemimpinan lame duck di GE. Upaya Immelt untuk mengomunikasikan program yang sedang ia jalankan dan garis besar visi strategis Flannery membantu mengelola ekspektasi pemangku kepentingan selama masa transisi.Memastikan kesinambungan inisiatif strategis pada tingkat tertentu dapat membantu menstabilkan organisasi. Meskipun Flannery memperkenalkan perubahan signifikan, ia juga mengembangkan beberapa inisiatif Immelt, khususnya di sektor digital dan industri.

Contoh GE menunjukkan perlunya fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi selama transisi kepemimpinan. Kemampuan untuk dengan cepat menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan baru dan arahan strategis sangat penting untuk ketahanan organisasi.

Mengelola hubungan secara efektif dengan karyawan, investor, dan pemangku kepentingan lainnya sangatlah penting. Mengatasi kekhawatiran mereka dan melibatkan mereka dalam proses transisi dapat membantu menjaga kepercayaan dan engagement.

Kategori: Leadership

#bebeklumpuh

#lameduck

#politik

#as

#microsoft

#satyanadella #generalelectric

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait