transformasi digital

Gray Work: Ketika Transformasi Digital Justru Menambah Beban Kerja Tersembunyi

Di era yang serbadigital ini, transformasi digital diharapkan menjadi motor pendorong produktivitas. Beragam alat pintar, aplikasi yang terintegrasi, dan sistem otomatis hadir untuk memangkas pekerjaan yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari.

Namun, kenyataan yang terjadi justru kerap sebaliknya. Banyak karyawan justru merasa kewalahan, ritme kerja semakin tak terbendung, dan kemampuan untuk fokus kian tergerus. Dalam kondisi inilah, fenomena gray work mulai menarik perhatian para praktisi SDM dan organisasi.

Apa Sebenarnya Gray Work?

Gray work merupakan segala bentuk aktivitas kerja tambahan yang lahir sebagai efek samping dari transformasi digital di lingkungan kerja. Pekerjaan ini sering kali tak terpantau, tidak terukur, dan kadang tidak disadari oleh perusahaan.

Gray work tidak tercantum dalam deskripsi jabatan, tidak masuk dalam hitungan KPI, dan nilai produktivitasnya dipertanyakan—bahkan kerap justru kontraproduktif. Karena dibungkus oleh teknologi, aktivitas ini dianggap sebagai bagian wajar dari rutinitas, padahal sesungguhnya ia adalah beban terselubung yang cukup signifikan.

Fenomena ini kian relevan seiring dengan gencarnya perusahaan mengadopsi berbagai alat kolaborasi, asisten AI, dan platform digital lainnya. Lantas, pertanyaan kritisnya adalah: benarkah teknologi telah mendongkrak produktivitas? Atau jangan-jangan, transformasi digital yang diharapkan menjadi solusi justru melahirkan lapisan pekerjaan tak kasatmata yang menggerogoti waktu, konsentrasi, dan energi para karyawan?

Memahami Esensi Gray Work

Gray work bisa diibaratkan sebagai “pekerjaan bayangan”—segala tugas tambahan yang muncul akibat kompleksitas teknologi, namun tidak memiliki pemilik yang jelas, tidak diatur oleh prosedur baku, dan luput dari pengukuran kinerja.

Beberapa contoh konkretnya antara lain memperbaiki dokumen yang formatnya kacau karena perbedaan sistem antarplatform; membersihkan tumpukan data yang tidak terurus sebelum dimasukkan ke sistem baru; mengelola banjir notifikasi dari berbagai aplikasi yang silih berganti; mengulang pekerjaan (rework) akibat sistem yang tidak sinkron dan memperbarui informasi yang sama di dua atau tiga platform berbeda karena integrasi yang belum sempurna—situasi yang sering muncul dalam proses transformasi digital.

Gray work tumbuh bak jamur di musim hujan, sering kali dimulai dari inisiatif individu untuk “menjaga agar segala sesuatunya tetap berjalan.” Ironisnya, niat baik ini justru dapat mengganggu alur kerja utama yang seharusnya.

Baca :   Mengungkap Bias dan Dinamika Budaya dalam Sistem Penilaian Kinerja

Mengapa Gray Work  Tumbuh Subur?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan gray work tumbuh subur.

1. Adopsi teknologi yang terlalu dipaksakan

transformasi digital

Banyak organisasi tergesa-gesa melakukan transformasi digital dan mengadopsi teknologi terbaru tanpa didahului oleh penyiapan proses bisnis yang matang. Alih-alih menyederhanakan, kehadiran alat baru justru menambah lapisan kerumitan. Bayangkan, sebuah perusahaan bisa menggunakan 6 hingga 12 aplikasi berbeda untuk menangani manajemen proyek, kolaborasi, persetujuan workflow, sistem HR, hingga analitik. Setiap alat memiliki logika dan cara kerjanya sendiri, dan harmonisasi di antara mereka tidak selalu berjalan mulus.

2. Lemahnya tata kelola (governance) dan prosedur operasi standar (SOP)

Kecepatan perkembangan teknologi sering kali tidak diimbangi dengan pembaruan SOP. Tidak ada kejelasan: platform mana yang menjadi acuan utama untuk komunikasi? Di mana seharusnya file disimpan? Bagaimana standar pengisian data? Dalam banyak kasus, celah ini semakin melebar ketika perusahaan menjalankan transformasi digital tanpa kerangka tata kelola yang memadai. Akibatnya, yang terjadi adalah prinsip “siapa yang bisa, dialah yang mengerjakan”—dan di situlah gray work bermula.

3. Beban kognitif yang ditimbulkan teknologi

Teknologi memicu terjadinya context switching dalam frekuensi tinggi. Seorang karyawan bisa dengan cepat beralih dari surat elektronik ke obrolan grup, lalu ke aplikasi manajemen tugas, membuka dashboard, dan kembali lagi ke surat elektronik. Setiap peralihan ini menguras energi mental. Inilah wujud gray work yang paling halus: beban mental yang tidak terlihat, sering kali tidak diakui oleh organisasi, namun dampaknya sangat nyata.

Sisi Terang Gray Work: Manfaat yang Tak Terduga

Meski identik dengan pemborosan, gray work tidak selamanya buruk. Dalam proses transformasi digital, area abu-abu ini justru kerap berperan sebagai penyambung lidah sekaligus penyokong transisi.

Gray work memaksa karyawan untuk akrab dengan teknologi baru, beradaptasi dengan dinamika, dan menjadi lebih luwes. Pada akhirnya, hal ini mempercepat peningkatan literasi digital di seluruh organisasi.

Di samping itu, gray work memberi ruang bagi karyawan untuk bereksperimen, menemukan jalan pintas, atau cara-cara kreatif dalam menggunakan sistem yang belum sepenuhnya terdokumentasi—sebuah fenomena yang sering muncul di tengah proses transformasi digital yang masih berkembang.

Baca :   Benturan Budaya Organisasi dalam Merger dan Akuisisi

Banyak gray work, seperti pembersihan data, verifikasi manual, atau pengecekan ulang dokumen, meski tidak terlihat, justru berkontribusi pada hasil akhir yang lebih berkualitas dan minim kesalahan.

Gray work sering kali diambil alih oleh karyawan yang proaktif. Mereka secara tidak langsung menjadi pemimpin informal, “pemuka digital” yang dengan sabar membantu rekan-rekannya memahami seluk-beluk sistem baru. Hal ini memperkuat iklim kolaborasi dan gotong royong.

Dalam batas tertentu, gray work adalah elemen penting yang memungkinkan organisasi tetap lincah di tengah proses transformasi digital.

Sisi Gelap Gray Work: Penghambat Produktivitas yang Tak Kasatmata

trasnformasi digital

Terlepas dari segi positifnya, dampak negatif gray work cenderung lebih dominan dan merugikan jika dibiarkan tak terkendali.

Karyawan yang harus mengelola banyak aplikasi mengalami keterbelahan perhatian. Waktu yang seharusnya digunakan untuk deep work justru terkikis untuk urusan “pemeliharaan” sistem. Sebuah penelitian Microsoft pada 2022 mengungkap fakta mengejutkan: rata-rata karyawan berpindah aplikasi lebih dari 1.000 kali dalam sehari—sebuah pemicu utama digital fatigue yang semakin terasa di tengah dorongan transformasi digital.

Karena gray work tidak tercatat, kontribusi karyawan yang melakukannya tidak mendapat pengakuan. Sebaliknya, tugas tambahan ini hanya menumpuk beban tanpa imbalan yang setara, yang pada akhirnya menumbuhkan benih ketidakpuasan dan burnout.

Organisasi sering kali keliru dalam membaca indikator produktivitas. Sistem mungkin mencatat aktivitas seperti login atau jumlah klik, tetapi mengabaikan beban tersembunyi seperti pembersihan data atau perbaikan error. Akibatnya, statistik tampak hijau, padahal output nyata justru menurun.

Gray work yang dilakukan tanpa standar baku rawan menimbulkan kesalahan. Misalnya, satu tim menginput data dengan format A, sementara tim lain menggunakan format B. Perbedaan ini dapat berakibat fatal, terutama ketika data digunakan untuk pengambilan keputusan strategis.

Beban tak terlihat dari teknologi adalah pemicu stres yang potensial. Notifikasi yang tiada henti, perubahan fitur yang mendadak, dan ekspektasi untuk “selalu tersambung” menciptakan lingkungan kerja yang melelahkan secara mental dan emosional. Hal ini menjadi ironi karena tujuan utama transformasi digital sebenarnya adalah meningkatkan efektivitas dan kesejahteraan kerja.

Baca :   Tumbuh di Tengah Krisis: Strategi Bisnis untuk Terus Berkembang

Peran SDM dalam Mengelola Gray Work

SDM organisasi memegang peran kunci untuk memastikan teknologi benar-benar menjadi kawan, bukan lawan. Bagaimanakah caranya?

1. Audit gray work secara berkala

Petakan aktivitas-aktivitas terselubung yang kerap dilakukan karyawan. Selidiki apakah mereka harus membuat laporan ganda karena sistem tidak terintegrasi? Berapa banyak waktu yang terbuang untuk berpindah antar-aplikasi? Adakah tugas repetitif yang muncul akibat kelemahan sistem? Audit ini akan membuka mata pihak manajemen terhadap realitas yang sering kali tersembunyi.

Banyaknya alat digital adalah sumber utama gray work, sebuah tantangan yang makin menonjol seiring percepatan transformasi digital di berbagai organisasi. SDM perlu mengambil inisiatif untuk menetapkan platform yang baku. Misalnya platform komunikasi yang wajib digunakan; tempat penyimpanan file yang resmi;  format standar untuk dokumen dan data; serta protokol yang jelas dalam penggunaan setiap alat. Dengan tata kelola yang baik, gray work dapat ditekan secara signifikan.

2. Bangunlah kapasitas digital secara berkelanjutan

Jangan batasi pelatihan hanya pada saat peluncuran sistem. Berikan dukungan berkelanjutan melalui misalnya penujukan digital champion, sesi microlearning, atau SOP yang selalu diperbarui dan mudah diakses oleh semua orang.

3. Selaraskan Kinerja dengan Beban Kerja Nyata di Era Digital

Pastikan Key Performance Indicator (KPI) mencerminkan beban kerja yang sesungguhnya di era transformasi digital. Jika seorang karyawan harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk membersihkan data agar sistem dapat berfungsi, maka beban itu harus dihitung dan diakui sebagai bagian dari pekerjaannya.

Esensi dari AI dan automasi bukanlah sekadar tren, melainkan kemampuannya untuk memangkas beban administratif dan repetitif. Pilihlah solusi teknologi yang benar-benar dirancang untuk menyederhanakan, bukan sekadar menambah daftar alat yang harus dikelola.

 

#gray work      #teknologi                   #produktivitas             #KPI                 #pproses bisnis                       #kerumitan                 #governance               #SOP                #content switching                 #burnout                        #stres               #peran SDM

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait