Di tengah gempuran era digital, ponsel pintar telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Namun, di balik segala kepraktisannya, hadir sebuah kebiasaan yang secara diam-diam menggerogoti kualitas hubungan di tempat kerja: phubbing. Istilah yang berasal dari gabungan “phone” dan “snubbing” ini menggambarkan sikap mengabaikan orang di sekitar lantaran asyik dengan gawai. Dalam dunia kerja, phubbing ibarat racun yang perlahan-lahan merusak budaya kerja organisasi, menurunkan keterlibatan karyawan, dan merenggangkan ikatan tim.
Fenomena Phubbing di Dunia Kerja
Bayangkanlah sebuah suasana rapat di kantor. Beberapa orang tampak menunduk, sibuk mengetik atau menggulir layar ponsel. Ada yang sesekali tersenyum kecil karena membaca pesan pribadi, ada pula yang tanpa sadar kehilangan momen penting dalam diskusi. Ini bukan perilaku sepele—phubbing menciptakan keterputusan sosial di lingkungan yang seharusnya bersifat kolaborasi.
Riset oleh Roberts dan David (2016) mengungkap bahwa phubbing berdampak langsung pada kualitas hubungan interpersonal, termasuk di tempat kerja. Karyawan yang sering tidak dipedulikan karena lawan bicaranya sibuk dengan ponsel merasa tidak puas dan kurang terikat dengan pekerjaannya. Dalam tim, perilaku ini lambat laun menggerogoti kepercayaan, budaya kerja perusahaan, dan rasa saling menghargai.
Dampak Phubbing terhadap Budaya Perusahaan
Budaya organisasi yang sehat dibangun di atas interaksi yang bermakna, kehadiran penuh, dan saling menghormati. Phubbing meruntuhkan semua fondasi itu.
Bayangkan ketika seorang atasan asik mengecek notifikasi sambil mendengarkan laporan bawahan. Pesan tak terucap yang tersampaikan adalah: “Kamu tidak cukup penting.” Akibatnya, karyawan merasa tak dihargai, komunikasi menjadi dangkal, budaya kerja ikut terpengaruh, dan rasa memiliki terhadap perusahaan pun memudar.
Budaya phubbing juga menjadi penghambat produktivitas. Temuan Microsoft (2022) menunjukkan bahwa rata-rata karyawan mengecek ponsel atau pesan setiap enam menit sekali. Perpindahan fokus yang terus-menerus ini menyulitkan otak untuk berkonsentrasi, meningkatkan tingkat stres, dan menurunkan efisiensi kerja.
Mengapa Kita Kecanduan Ponsel?

Fenomena ini bukan semata-mata soal kedisiplinan, melainkan juga hasil dari desain teknologi yang memanjakan. Aplikasi media sosial, surat elektronik, dan pesan instan dirancang untuk menciptakan “dopamine loop“—kepuasan sesaat setiap kali notifikasi baru muncul. Tanpa disadari, kita terjebak dalam siklus menjadi “pengecek notifikasi kronis.”
Selain itu, batas antara dunia kerja dan kehidupan pribadi kian kabur. Grup WhatsApp kantor, atau surat elektronik dari tempat kerja seringkali tetap aktif di luar jam kantor, membuat kita sulit benar-benar melepaskan diri. Ketika budaya kerja organisasi tidak menetapkan batasan digital yang jelas, phubbing dianggap sebagai hal yang wajar—sebuah bentuk multitasking yang keliru.
Langkah Membangun Zona Bebas Phubbing di Tempat Kerja
Menghentikan kebiasaan phubbing memerlukan pendekatan yang tak sekadar melarang, tapi juga mengubah budaya kerja secara menyeluruh. Strategi apa yamg dapat ditempuh?
1. Pemimpin harus meneladan karyawannya
Budaya kerja organisasi adalah cerminan perilaku pemimpinnya. Jika atasan sibuk dengan ponsel saat rapat, bawahan akan mengikutinya. Sebaliknya, pemimpin yang menunjukkan kehadiran penuh—dengan meletakkan ponsel, menatap lawan bicara, dan mendengarkan secara aktif—akan menularkan sikap yang sama pada tim. Pemimpin yang sadar digital (digitally mindful) menjadi teladan bagi seluruh organisasi.
2. Menyiapkan kebijakan etiket digital
Perusahaan yang menyadari dampak negatif phubbing mulai menerapkan kebijakan etiket digital yang jelas, seperti larangan menggunakan ponsel selama rapat, kecuali untuk keperluan presentasi; menetapkan “jam tenang digital” pada waktu kerja yang membutuhkan fokus tinggi; dan memilah saluran komunikasi untuk urusan penting dan tidak mendesak. Kebijakan semacam ini bukan berarti antiteknologi, melainkan menempatkannya pada porsi yang tepat agar tidak mengganggu fokus dan interaksi.
3. Mulai dari hal sederhana: rapat tanpa ponsel
Mintalah peserta meninggalkan ponsel di luar ruangan atau menonaktifkan notifikasi selama pertemuan. Beberapa perusahaan bahkan menggunakan “keranjang ponsel” sebagai tempat penitipan sebelum rapat dimulai. Hasilnya? Diskusi lebih hidup, ide mengalir lancar, dan keputusan dapat diambil dengan lebih cepat.
4. Tingkatkan kesadaran melalui edukasi
Khususnya mengenai dampak phubbing hubungan dan produktivitas. Misalnya mengenai kenik mengelola notifikasi dan/atau mengenali tanda-tanda kelelahan digital. Edukasi semacam ini membantu karyawan menata ulang hubungan mereka dengan teknologi, alih-alih menjauhinya.
5. Menyediakan ruang bebas gawai

Ketika orang berbicara langsung tanpa distraksi, ikatan emosional yang terbentuk akan memperkuat budaya kerja kolaboratif.
6. Menerapkan kesadaran berteknologi digital
Teknologi bukanlah musuh. Kuncinya terletak pada kesadaran kita dalam menggunakannya. Ajarkan karyawan untuk melakukan “cek digital” sederhana: Apakah saya benar-benar perlu mengecek ponsel saat ini? Apakah ini momen yang tepat untuk membalas pesan? Apakah tindakan ini membantu atau justru mengganggu interaksi saya?
Pada hakikatnya, memerangi phubbing bukan sekadar mengatur ulang kebiasaan digital, melainkan upaya mengembalikan nilai-nilai dasar interaksi manusia: kehadiran penuh dan rasa hormat. Tempat kerja yang bebas phubbing adalah lingkungan di mana setiap individu merasa didengarkan, dihargai, dan terhubung secara autentik.
Related Posts:
Budaya Organisasi dan Sistem Kompensasi: Kekuatan Tersembunyi yang Menggerakkan Perilaku Organisasi
Purpose Washing: Ketika Budaya Organisasi Hanya Jadi Hiasan
Budaya Organisasi, Senjata Rahasia Menuju Keunggulan Bersaing
Menemukan Keseimbangan dalam Budaya Perusahaan: Antara Kompetisi dan Kolaborasi
Benturan Budaya Organisasi dalam Merger dan Akuisisi








