Di tengah sebuah job fair yang sempat kisruh dan dituduh sekadar formalitas, perdebatan klasik kembali mencuat: pantaskah karyawan mengharapkan gaji 15 juta Rupiah? Sebagian menilai ekspektasi ini terlalu tinggi dan tidak realistis, sementara yang lain berargumen bahwa angka tersebut adalah standar hidup layak di tengah melonjaknya biaya hidup. Lantas, apakah 15 juta Rupiah sekadar ilusi atau justru cerminan kebutuhan riil di tengah ekonomi yang belum pulih? Isu ini menjadi sorotan tajam, terutama ketika #IndonesiaGelap bukan lagi sekadar tagar, tapi cerminan keresahan generasi kerja.
Bagi sebagian orang, gaji 15 juta Rupiah untuk lulusan baru terkesan seperti angan-angan, bahkan tak masuk akal. Namun, bagi pekerja di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Denpasar, angka ini bisa jadi syarat minimal untuk hidup layak.
Data BPS (2023) menunjukkan bahwa pengeluaran bulanan rata-rata rumah tangga di Jakarta mencapai 9–11 juta Rupiah. Dengan tanggungan keluarga, tabungan, asuransi, dan investasi, gaji 15 Rupiah juta bagi karyawan sebenarnya bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Tentu, ini bisa diperdebatkan. Namun dalam konteks #IndonesiaGelap, di mana kesenjangan ekonomi dan stagnasi penghasilan masih menjadi kenyataan sehari-hari, wacana ini memicu pertanyaan besar tentang keadilan dan keberpihakan sistem.
Lulusan Baru Banyak, Siapkah Mereka Berkiprah di Dunia Kerja?

Setiap tahun, jutaan orang lulus dari dunia pendidikan, baik formal maupun informal. Mestinya, pasokan tenaga kerja melimpah. Ironisnya, banyak perusahaan mengeluhkan sulitnya menemukan kandidat yang kompeten. Masalahnya bukan sekadar jumlah, melainkan kesenjangan keterampilan.
Studi World Bank (2022) mengungkap tingginya ketidakcocokan keterampilan (skill mismatch) di Indonesia. Banyak lulusan yang kurang menguasai kompetensi praktis seperti pemikiran kritis, komunikasi bisnis, atau literasi digital. Akibatnya, meski lowongan terbuka lebar, perusahaan sulit menemukan kandidat yang memenuhi standar. Di sisi lain, pekerja berkualitas menuntut gaji tinggi—dan di sinilah konflik muncul antara ekspektasi 15 juta Rupiah dan realitas upah nasional. Situasi ini memperlihatkan wajah lain dari #IndonesiaGelap, ketika bonus demografi justru gagal dimanfaatkan secara optimal.
Perusahaan juga menghadapi masalah lain. Kondisi ekonomi yang sulit membuat daya beli turun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang relatif lebih baik dibandingkan dengan negara ASEAN dan G-20. Meski demikian, daya beli mayoritas pekerja tidak banyak membaik.
Akibatnya, banyak perusahaan mengalami penurunan pendapatan. Di sisi lain, biaya operasional meningkat. Belum lagi faktor-faktor seperti perpajakan dan isu keamanan yang mengganggu kelancaran bisnis. Faktor geopolitik juga ada dampaknya. Tarif Trump juga masih terus berubah-ubah. Dampak lainnya adalah perusahaan menghadapi kendala berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM)-nya. Tanpa kesempatan upskilling, reskilling, dan promosi, pekerja pun terpaksa berpindah kerja demi kenaikan gaji—bukan untuk berkembang.
Di sektor teknologi, gaji 15 juta Rupiah bukan hal aneh—terutama bagi data scientist, software engineer, atau product manager. Namun, lapangan kerja di bidang ini sangat terbatas, kompetitif. Dan mensyaratkan kompetensi tinggi. Sementara itu, sektor padat karya seperti manufaktur dan jasa masih bergerak di kisaran Upah Minimum Provinsi (UMP). Akibatnya, kesenjangan makin lebar: segelintir pekerja digital menikmati gaji tinggi, sementara mayoritas bergulat dengan biaya hidup yang terus melambung. Ini merupakan sebuah potret nyata dari ketimpangan struktural yang membentuk narasi #IndonesiaGelap.
Simbol Harapan atau Ilusi?
Gaji 15 juta Rupiah bisa menjadi penanda bahwa kerja keras dan kompetensi masih dihargai. Namun, hal ini akan tetap jadi mimpi jika ekonomi dan sistem ketenagakerjaan tidak diperbaiki.
Jika perusahaan merasa berat untuk membayar lebih untuk talenta berkualitas, sementara pendidikan terus menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja, maka siklus ini akan terus berulang: pekerja frustrasi, perusahaan kesulitan merekrut, dan produktivitas mandek. Inilah salah satu gambaran nyata dari #IndonesiaGelap, ketika ketidakseimbangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri tidak kunjung teratasi.
Solusi: Kolaborasi Pemerintah, Perusahaan, dan Pekerja

Intervensi pemerintah dibutuhkan guna memastikan agar kurikulum pendidikan relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Di samping itu, perlu dipastikan agar iklim investasi senantiasa kondusif sehingga dunia usaha berkembang pesat. Dengan demikian, jumlah lapangan kerja lebih banyak. Di samping itu, perusahaan bisa berlomba-lomba memberikan yang terbaik bagi karyawannya.
Perusahaan seyogianya memandang pengembangan SDM sebagai investasi, bukan beban. Perusahaan juga perlu membangun sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan pengaruh, senioritas, dan sebagainya. Inilah yang disebut meritokrasi. Ini bukan berarti senioritas disingkirkan jauh-jauh. Hanya, pertimbangan senioriutas tidak boleh mengalahkan pertimbangan kompetensi dan prestasi. Jalur karier yang jelas dan program pengembangan karyawan juga harus disiapkan secara matang agar tidak terus terjebak dalam lingkaran stagnasi seperti yang terjadi dalam narasi #IndonesiaGelap.
Karyawan dan kandidat juga tidak boleh hanya pasrah menunggu nasib. Mereka harus proaktif mengembangkan peengetahuan dan keterampilan, misalnya melalui kursus dan program sertifikasi. Saat ini, peningkatan pengetahuan dan keterampilan bisa dilakukan secara daring, jadi lebih mudah dan murah. Bertambahnya pengetahuan dan keterampilan akan meningkatkan posisi tawar karyawan di dunia kerja. Karyawan juga harus fleksibel terhadap perubahan tren industri.