Dalam beberapa tahun terakhir, muncul sebuah tren sosial yang makin menguat: cancel culture. Di tengah pesatnya era digital yang serba terbuka; komentar, tindakan, atau unggahan lama di media sosial bisa tiba-tiba menjadi viral dan merusak reputasi—baik individu maupun perusahaan. Mulai dari pesohor, CEO, hingga merek ritel dan perusahaan teknologi, tak ada yang benar-benar aman dari badai digital ini.
Lalu, bagaimana dunia manajemen menyikapi fenomena ini? Langkah apa yang bisa diambil organisasi untuk mengelola krisis reputasi di tengah budaya pembatalan yang semakin brutal dan serba instan?
Cancel Culture: Fenomena atau Gejala Sosial?
Cancel culture bukan sekadar bentuk “hukuman sosial”, melainkan juga merupakan respon publik terhadap perilaku yang dianggap ofensif, diskriminatif, tidak etis, atau bertentangan dengan nilai-nilai tertentu. Dalam banyak kasus, aksi “pembatalan” ini terjadi melalui media sosial—mulai dari ajakan boikot, pencabutan dukungan, hingga desakan agar seseorang mengundurkan diri dari jabatannya.
Dari perspektif manajemen, cancel culture adalah gejala ketidakselarasan antara ekspektasi publik dan respons organisasi. Di sinilah peran manajemen reputasi dan komunikasi krisis diuji. Di dunia yang semakin transparan, diam bisa dianggap bersalah. Namun, merespons terlalu cepat tanpa strategi justru dapat memperburuk situasi.
Ketika Viral Berubah Jadi Bencana

Banyak perusahaan dan tokoh publik awalnya menikmati sorotan—popularitas, viralitas, dan interaksi tinggi di media sosial—tanpa menyadari bahwa perhatian digital bisa berubah menjadi amukan massa. Dalam hitungan jam, sesuatu yang tampak biasa bisa berbalik menjadi bumerang bagi reputasi.
Contohnya adalah kasus Balenciaga. Balenciaga, merek fashion mewah asal Spanyol, menuai kecaman setelah meluncurkan kampanye iklan yang menampilkan anak-anak memegang tas berbentuk boneka beruang dengan pakaian bergaya bondage (terkait unsur BDSM). Netizen menilai konten iklan ini tidak pantas dan dianggap mengeksploitasi anak-anak.
Gelombang cancel culture pun muncul—mulai dari seruan boikot produk hingga desakan agar brand ambassador mundur. Merespon gelombang kecaman tersebut, Balenciaga menarik iklan yang bermasalah, menghapus seluruh konten kampanye dari platform media sosialnya, dan meminta maaf secara terbuka (dilakukan oleh CEO). Awalnya, Balenciaga berusaha “cuci tangan” dengan menyalahkan pihak ketiga (agensi produksi), tetapi langkah ini justru memperburuk krisis. Pada akhirnya, mereka mengakui tanggung jawab penuh dan berjanji memperbaiki proses validasi konten iklan di internal perusahaan.
Menyalahkan pihak luar tanpa introspeksi diri hanya akan memperkeruh citra di mata publik. Cancel culture menuntut pertanggungjawaban yang tulus, bukan sekadar permintaan maaf. Selain itu, proses persetujuan iklan dan pemahaman konteks sosial dalam tim pemasaran harus diperketat untuk menghindari kesalahan serupa di masa depan.
Kemampuan Merespon
Menghadapi cancel culture, organisasi tidak bisa hanya mengandalkan prosedur komunikasi krisis konvensional yang kaku. Mereka harus membangun kemampuan untuk merespons dengan cepat, tepat, dan tulus di tengah tekanan publik.
Untuk itu, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan.
1. Mengaudit nilai dan budaya perusahaan
Sudahkah organisasi kita memiliki nilai-nilai yang jelas dan dijalankan secara konsisten? Cancel culture sering muncul ketika ada kesenjangan antara nilai yang diunggulkan dan praktik nyata di lapangan. Karena itu, audit budaya harus dilakukan secara rutin—apakah nilai-nilai tersebut benar-benar hidup dalam keseharian, atau hanya sekadar hiasan di dinding kantor dan situs perusahaan?
Nike bisa menjadi kisah yang menarik. Nike menunjuk Colin Kaepernick—mantan atlet NFL yang menjadi simbol protes terhadap diskriminasi rasial di AS—sebagai wajah kampanye “Just Do It”. Kampanye ini menuai pujian dan kritik tajam. Banyak konsumen konservatif memboikot Nike dan membakar sepatu mereka di media sosial. Namun, Nike bergeming. Mereka tetap memyokong Kuepermick. Bagi Nike, keadilan sosial sudah menjadi identitas. Penjualan Nike justru meningkat setelah kampanye ini.
Cancel culture ternyata bisa menjadi kesempatan bagi merek untuk memperkuat identitas dan meningkatkan loyalitas pelanggan. Ketika suatu organisasi memahami nilai-nilai yang diperjuangkannya dan siap menanggung risikonya, krisis justru bisa berubah menjadi momen untuk menunjukkan keteguhan sikap
2. Menyiapkan secara matang tim komunikasi dari berbagai tingkat

Tim komunikasi seyogianya tidak hanya ahli hubungan masyarakat, tetapi juga melibatkan divisi hukum, SDM, dan manajemen risiko. Dampak cancel culture tidak hanya eksternal, tetapi juga internal: memengaruhi moral karyawan, loyalitas mitra, hingga kepercayaan investor. Respons yang diberikan harus menyeluruh dan melibatkan berbagai fungsi.
3. Merespon dengan cepat, jujur, dan tulus
Langkah pertama dalam 6–12 jam pertama kritis dalam menentukan arah krisis. Apakah organisasi memilih diam, bersikap defensif, atau terbuka mengakui kesalahan? Riset menunjukkan bahwa audiens digital lebih menghargai kejujuran dan kesediaan untuk berubah, dibandingkan klarifikasi yang terkesan membela diri.
4. Jangan menganggap khalayak sebagai musuh
Ajaklah mereka menjadi mitra dalam perubahan. Beberapa organisasi berhasil mengubah krisis cancel culture menjadi momentum transformasi dengan melibatkan aktivis, komunitas korban, atau pakar sebagai bagian dari dewan penasihat atau program pelatihan internal. Dengan melibatkan pihak-pihak yang sebelumnya mengkritik, perusahaan menunjukkan komitmen nyata untuk belajar dan berubah—bukan sekadar basa-basi.
Klarifikasi hanyalah langkah awal. Yang jauh lebih krusial adalah upaya membangun kembali reputasi dalam jangka panjang. Di titik inilah organisasi perlu menerapkan brand humility—sikap rendah hati sebuah merek untuk mengakui kekurangannya dan berkomitmen memulihkan kepercayaan publik.
Kebanyakan orang paham bahwa organisasi bisa saja melakukan kesalahan. Namun, publik ingin melihat respons yang penuh integritas dan tindakan nyata, bukan sekadar janji-janji kosong.
Related Posts:
Sisi Gelap Budaya Organisasi: Mengapa Budaya Toxic Tetap Hidup di Beberapa Perusahaan?
Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Nurul Atik, pendiri Rocket Chicken
Wealth Strategy Family Business: Belajar dari Keluarga Rothschild dan Vanderbilt
Rahasia Mengelola Holding Company yang Maju dan Lincah
Mengenal Jenis-jenis Holding Company: Manakah yang sesuai untuk Anda?