Presiden AS Donald Trump mengumumkan jeda tiga bulan penuh atau sekitar 90 hari pada semua tarif impor tinggi yang ditetapkan kepada berbagai negara, tak terkecuali Indonesia yang terkena tarif 32%. Khusus China, kebijakan tarif Trump akan dinaikkan menjadi 125% dari 104% setelah China mengumumkan tarif pembalasan tambahan terhadap AS.
Yang jelas kini semua negara selain China yang dikenakan tarif impor oleh Trump akan mengalami penurunan ke tarif universal sebesar 10%. Trump menilai tarif tinggi sebetulnya tetap akan berlaku. Penundaan tarif dilakukan karena banyak negara memiliki niat baik untuk berunding dengan AS.
Kritik Dunia Terhadap Kebijakan Tarif Trump
Kebijakan penundaan ini kontras dengan yang diumumkan Trump seminggu sebelumnya. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan tarif dasar sebesar 10% terhadap semua negara, sambil mengkritik ekonomi Asia dan lainnya dengan tarif resiprokal kepada 57 negara.
Tujuan kebijakan tarif Trump ini, menurut Trump, adalah untuk melindungi pekerja dan industri AS, mencapai resiprositas dalam perdagangan, meningkatkan pendapatan dan kekuatan nasional, dan sebagai perwujudan visi America First.
Perintah eksekutif ini membuat dunia bereaksi keras. Banyak yang menuduh kebijakan ini serampangan dan di luar nalar. Pasar saham terjun bebas, pun nilai tukar mata uang asing terhadap Dollar AS. Termasuk Rupiah. Reaksi dunia bermacam-macam meski semuanya tidak setuju. Australia, misalnya, tidak mau membalas dengan alasan tidak mau ikut-ikutan perang dagang dan memilih jalur perlindungan.
Vietnam, yang dikenakan kebijakan tarif sebesar 45% oleh Trump, berencana memangkas sejumlah tarif impor produk AS yang masuk ke Vietnam. Kemudian Vietnam berkomitmen untuk mengimpor produk dari AS seperti pesawat dan bahan pertanian. Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam To Lam dalam sambungan telepon dengan Trump telah berunding untuk kesepakatan tersebut.
Perang Dagang

China merespon kebijakan tarif Trump ini dengan aksi balasan. Rasanya, tak ada yang segagah berani China, siap berperang sampai habis. China membalas tarif tinggi Amerika dengan mengumumkan akan memberi tarif tambahan sebesar 34% kepada produk Amerika Serikat. Aksi ini dibalas lagi oleh Trump dengan mengumumkan tarif tambahan kepada produk impor China menjadi 104%.
Uni Eropa bersiap-siap membalas kebijakan tarif Trump. UE juga menyiapkan pembalasan tarif BMI untuk komoditas AS. Blok ini telah menyepakati tariff senilai 23 miliar Dollar AS terhadap barang-barang AS. Meski demikian, Uni Eropa lebih menyukai negosiasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah berencana meningkatkan impor dari AS dalam bentuk realokasi dari negara lain. Terutama produk agrikultur yang tidak dimiliki Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menugaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Sugiono untuk mendampingi Airlangga Hartarto dalam menegosiasi kebijakan tarif Trump. Namun ada kalangan yang mengkhawatirkan ini akan melemahkan posisi tawar Indonesia.
Donald Trump Dilihat dari Kacamata Kepempinan
Trump terus menerus mengejutkan dunia dengan kebijakan tarifnya. Sikap Trump yang bergonta-ganti ini meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global hingga ketegangan politik.
Kasus kebijakan tarif ini menarik bukan saja dari sisi ekonomi dan politik internasional, melainkan juga dari sisi kepemimpinan, terutama tentang bagaimana seorang pemimpin bisa menjadi pencetus dan penanggap krisis sekaligus.
Donald Trump memainkan dua peran sekaligus. Di satu sisi, ia menciptakan krisis melalui kebijakan tarifnya yang ekstrem dan tiba-tiba. Namun di sisi lain, ia juga bertindak sebagai pihak yang mengelola krisis tersebut dengan menyesuaikan kebijakannya secara sepihak, penuh perhitungan politik dan tekanan.
Kebijakannya menerapkan tarif tinggi mencerminkan karakter kepemimpinannya yang konfrontatif. Kepemimpinan seperti ini bertujuan menimbulkan tekanan agar pihak lain terpaksa bernegosiasi dalam posisi yang lebih lemah.
Namun, keputusannya menunda pemberlakuan kebijakan tarif Trump menunjukkan bahwa ia juga bisa bersikap fleksibel. Dalam hal ini, ia masih mau diajak berkompromi asalkan ada niat baik (tentu ini versi Trump sendiri). Agaknya, Trump sengaja membuat kekacauan untuk mengubah tatatan yang ia anggap merugikan, kemudian memanfaatkan kekacauan tersebut untuk mengukuhkan supremasinya. Namun, ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin dengan dukungan sumber daya jumbo.
Respon Pemimpin Negara-Negara Lain
Menarik pula melihat reaksi negara-negara lain. China, di bawah kepemimpoinan Xi Jinping, membalas konfrontasi dengan konfrontasi. Tarif dibalas tarif. China berani dan tegas mempertahankan posisi tawar. Pemimpin China tak mau tunduk pada tekanan, bahkan siap berperang tarif sampai akhir.
Namun, seperti halnya AS sebagai pencetus krisis, pembalasan yang dilakukan seperti China hanya bisa dilakukan jika organisasi memiliki sumber daya yang tak kalah unggul, dalam hal ini teknologi, kualitas manusia, dan pasar.

Langkah Uni Eropa dalam merespon kebijakan tarif Trump lebih hati-hati. Blok yang terdiri dari 27 negara ini mempersiapkan pembalasan. Meski demikian, mereka tidak menutup pintu dialog. Ini mencerminkan kepemimpinan kolektif yang mengedepankan stabilitas dan tata kelola multilateral, tanpa kehilangan daya tawar. Agaknya kepemimpinan kolektif ini juga ditempuh negara-negara ASEAN.
Keputusan untuk menghindari konfrontasi juga ditempuh negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan India. Negara-negara ini menawarkan kerja sama dagang baru dengan AS, termasuk janji pembelian produk AS. Mereka mencoba bersikap kompromistis dan adaptif. Namun, ini bisa melemahkan posisi tawar mereka dalam dalam panjang.
Kelanjutan dari Drama Kebijakan Tarif Trump
Drama kebijakan tarif Trump sepertinya belum akan berakhir. Apalagi, Trump terbukti sulit diprediksi. Sikap para pemimpin dunia tentunya akan menyesuaikan diri dengan perkembangan. Kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya.
Kasus kebijakan tarif Trump ini memberi pelajaran berharga tentang kepemimpinan. Dalam era disrupsi, bertindak cepat memang penting, tapi tidak cukup. Pemimpin harus berindak secara taktis dan strategis, memahami kondisi eksternal dan internal, seraya terus memperkuat daya saing.
Pemimpin yang sukses dalam krisis bukan hanya yang mampu menenangkan gejolak, tetapi yang bisa menjadikan krisis sebagai peluang transformasi. Di sisi lain, jika krisis dikelola dengan pendekatan pasif atau terlalu kompromistis, maka risiko kerugian jangka panjang bisa jauh lebih besar.