Gen Z

Fenomena Picky Job Gen Z: Antara Idealisme dan Realitas Kerja

Generasi Z (Gen Z) merujuk pada individu yang lahir dari pertengahan 1990-an sampai awal 2010-an. Generasi ini tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi, sehingga memiliki kemudahan akses informasi dan harapan yang besar terhadap lingkungan kerja. Mereka sangat kritis dan senantiasa terpapar informasi terkini.

Salah satu ciri khas Gen Z adalah kecenderungan mereka untuk sangat selektif dalam memilih pekerjaan, atau dikenal sebagai picky job seekers. Sikap ini kerap menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua—kebanyakan dari generasi Baby Boomers atau Generasi X—sehingga memicu perbedaan pendapat yang cukup tajam antara kedua generasi.

Cara Generasi Z dalam Memandang Pekerjaan

Generasi baby boomers dan generasi X memandang pekerjaan sebagai kewajiban agar kebutuhan hidup dan stabilitas keuangan terpenuhi. Mereka juga kurang peduli terhadap passion.  Namun, generasi Z memiliki pandangan berbeda. Bagi generasi ini, bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan.  Keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal, kebebasan menentukan cara kerja, dan pekerjaan yang bermakna tak kalah penting (bahkan banyak pula yang menganggap lebih penting ketimbang penghasilan).

Tak heran bila orang tua cemas bila anak-anaknya menjadi pemilik dalam bekerja  (pemilih di sini berarti orang yang terlampau teliti dalam memilih dan banyak tuntutannya). Apalagi, generasi Z kerap menolak pekerjaan dengan alasan yang bagi orang tua tidak masuk akal. Misalnya lokasi kerja terlalu jauh, budaya kerja yang tidak selaras dengan nilai pribadi, dan gaji yang masih rendah (padahal kemampuannya belum terbukti). Orang tua khawatir sikap anak-anaknya yang terlalu pemilih justru akan mengambat perkembangan karier dan profesional mereka. Kondisi finansial gen Z juga dikhawatirkan tidak stabil.

Baca :   Job-Hopping: Apakah Masih Menjadi Trend di Tengah Gelombang PHK?

Mengapa Banyak Generasi Z Menjadi Pemilih dalam Bekerja?

Gen Z

Kemajuan teknologi mengakibatkan generasi Z lebih banyak terpapar informasi dibandingkan generasi orang tua mereka. Gen Z pun lebih melek teknologi. Mereka dengan mudah mencari informasi tentang perusahaan atau organisasi yang membutuhkan karyawan, untuk kemudian membandingkan organisasi atau perusahaan tersebut dengan organisasi atau perusahaan lainnya. Informasi tersebut berasal dari ulasan karyawan, berita-berita di media sosial, dan situs berita online. Akibatnya, mereka tidak lekas percaya terhadap informasi yang hanya disampaikan satu pihak.

Faktor lainnya adalah pandangan bahwa investasi yang telah dikeluarkan untuk membiayai pendidikan harus dikembalikan dalam bentuk gaji yang tinggi dan pekerjaan yang sesuai. Jika tidak, mereka rela untuk menganggur lebih lama.

Dalam beberapa tahun ini, kesehatan mental makin mendapat perhatian. Terlebih sejak dunia dilanda pandemi Covid-19.  Gen Z ogah bekerja di tempat yang membuat mereka merasa burnout atau mengorbankan banyak waktu pribadi. Bagi mereka, bekerja bukan sekadar untuk mendapatkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan hidup. Lebih dari itu, bekerja juga harus memberikan kebahagiaan.

Baca :   4 Hari Kerja vs. 5 Hari Kerja: Efektif atau sekadar Gimmick?

Gen Z adalah generasi yang paling terpapar medis sosial. Mereka modah terpesona dengan cerita-cerita kesuksesan yang ditampilkan di TikTok dan Instagram. Misalnya orang muda yang sukses membesarkan bisnis rintisan atau pekerja lepas yang sukses mendapatkan penghasilan jumbo. Dari sini, mereka memandang bahwa sukses bisa datang lebih cepat.

Bekerja sebagai karyawan biasa dianggap kurang bisa menghadirkan keberhasilan dalam waktu cepat. Mereka juga memiliki pandangan bahwa untuk sukses, seseorang tak harus jadi karyawan dan bekerja di kantor. Perkembangan teknologi membuat cara, waktu, dan lokasi kerja menjadi lebih fleksibel.

Kenyataan Tak Seindah Harapan

gen z

Tentu tidak ada larangan untuk memilih-milih pekerjaan. Meski demikian, kenyataan ternyata tak seindah harapan. Ada realitas yang saat ini dihadapi. Setiap tahun, lulusan baru bertambah. Namun, lapangan kerja yang ditawarkan dunia usaha tak demikian. Terlalu lama menunggu pekerjaan idaman membuat gen Z kehilangan peluang menimba pengalaman.

Realitas lain yang harus diingat adalah bahwa gaji tinggi berbanding lurus dengan pengalaman dan kompetensi.Jika ingin mendapat gaji tinggi, bersiap-siaplah untuk mengorbankan pikiran, tetaga, dan waktu di tempat kerja. Belum lagi kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, ditandai dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Mencermati realitas ini, memiliki pekerjaan, meski bukan pekerjaan idaman, tetaplah lebih baik. Terpenting, generasi Z terus berupaya meningkatkan keterampilan dan kompetensinya.

Baca :   Tren Bare Minimum Monday

Lantas Bagaimanakah Sikap Orang Tua?

Orang tua harus paham bahwa dunia kerja saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman mereka dulu. Realitas saat ini harus diterima seraya memahami cita-keinginan generasi Z.  Ketimbang langsung menyalahkan, dengarkanlah terlebih dahulu alasan mereka menolak menerima tawaran pekerjaan. Dengan cara ini, orang tua akan memahami sudut pandang gen Z. 

Orang tua dapat membantu menyusun strategi karier gen Z. Termasuk di dalamnya  menjelaskan tentang pentingnya pengalaman kerja serta langkah-langkah yang dapat ditempuh agar pekerjaan impian dapat diraih. Penting ditekankan bahwa untuk meraih pekerjaan impian itu memerlukan waktu dan upaya, tidak bisa instan. Ada proses yang harus dilalui. Pengalaman tentunya bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti magang, proyek lepas, atau pekerjaan sementara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait