bisnis keluarga

Pro & Kontra Nepotisme: Ketika Ikatan Keluarga Berpengaruh dalam Organisasi

Nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; dan tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Namun, nepotisme tidak hanya bisa terjadi di pemerintahan.  Setiap organisasi, siapa pun pemiliknya, bisa saja melakukannya. Karena itu,  artikel ini tidak membatasi nepotisme di satu organisasi saja, tetapi secara umum.

Selama ini, nepotisme dipersepsikan negatif.  Artinya, nepotisme itu sesuatu yang kurang baik; menyimpang dari ukuran umum. Namun, banyak yang mempraktikkannya lantaran sifatnya yang dipandang pragmatis, menjadi cara cepat meraih kepercayaan dan loyalitas. Bagi para penentangnya, nepotisme dianggap menyuburkan ketidakadilan dan efisiensi. Jadi bagaimana?

Kontroversi

Nepotisme memang topik yang kontroversial. Bagi yang pro, nepotisme memiliki keuntungan. Paling utama, nepotisme memberikan kesempatan bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan koneksi pribadi, bukan hanya kualifikasi. Nepotisme dapat menjadi katalis bagi individu untuk memasuki dunia kerja, terutama ketika proses lamaran konvensional mungkin sulit atau tidak efektif.

Berikutnya, kolaborasi dan komunikasi yang lebih baik lantaran sudah lebih saling mengenal. Hubungan yang sudah terjalin ini menjadi modal untuk saling percaya dan saling terbuka satu sama lain, sehingga memungkinkan kerja sama tim dan pemecahan masalah yang efektif. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di tempat kerja.

bisnis keluarga

Praktik nepotisme dapat menghemat waktu dan biaya perekrutan. Ini berguna khususnya dalam bisnis kecil atau bisnis keluarga, yang mengutamakan rasa saling percaya dan keakraban. Untuk merekrut orang yang kompeten dan berpengalaman, mereka belum mampu.

Baca :   Family Business Successor:Heirs or Trailblazers?

Nepotisme kerap dikaitkan dengan bisnis keluarga. Dalam hal ini, bisnis keluarga berkepentingan mewariskan nilai-nilai yang mereka anut kepada generasi penerus. Umumnya, nilai-nilai ini hanya dipahami secara mendalam oleh anggota keluarga. Karena itu, merekrut anggota keluarga lebih diutamakan lantaran memiliki visi, komitmen, dan loyalitas yang sama,  Selaion itu, suksesi juga lebih mudah. Sementara untuk orang luar, pemahaman ini harus ditanamkan lebih dulu, yang tentunya membutuhkan waktu.

Nepotisme tak selalu menghambat pengembangan bisnis. Dalam kasus tertentu, malah sebaliknya. Kerabat yang memiliki pemahaman mendalam tentang budaya dan operasi perusahaan bisa langsung beradaptasi dengan cepat demi perkembangan organisasi.

Dendam dan Ketidakpastian

Namun bagi yang kontra, nepotisme banyak mudaratnya. Nepotisme dapat menimbulkan perasaan dendam dan ketidakpuasan karyawan lain yang merasa diperlakukan tidak adil. Persepsi bahwa promosi atau peluang kerja didasarkan pada hubungan pribadi dan bukan prestasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan mengikis moral karyawan.

Baca :   Transformational Leadership vs Servant Leadership: Which one is More Relevant?

Nepotisme berpotensi menyingkirkan calon yang sebenarnya lebih memenuhi kualifikasi. Paling berbahaya adalah jika individu yang kurang berkualifikasi menduduki posisi strategis. Ini tentunya berdampak pada kinerja organisasi.

Nepotisme juga menciptakan lingkungan kerja yang toksik. Ditandai misalnya oleh rasa tidak saling percaya dan perseteruan antarkaryawan. Dalam bisnis keluarga, prioritas berlebihan terhadap anggota keluarga membuat karyawan nonkeluarga merasa diremehkan.  Ini tentunya membuat bisnis keluarga tidak menarik untuk bekerja.

Nepotisme dapat menciptakan bias dalam pengelolaan SDM. Bias adalah kecenderungan untuk mendukung atau menentang sesuatu hal, orang, atau kelompok daripada yang lain dengan cara yang kurang adil. Dalam penilaian kinerja, misalnya. Karyawan hasil nepotisme mendapatkan penilaian yang baik, padahal tidak pantas memperolehnya. Demikian pula sebaliknya. Dalam penegakan aturan,  karyawan hasil nepotisme cenderung terhindar dari hukuman jika melanggar. Kalaupun melanggar, hukumannya ringan saja.

Paling sering dijumpai, nepotisme dapatv menyuburkan perliaku yang tidak etis, seperti korupsi. Intergritas menjadi rusak. Reputasi organisasi ternoda. Kepercayaan terhadap kemampuan organisasi merosot.

Tak Selalu Ilegal, Tapi…

Nepotisme memang tak selalu melanggar hukum. Namun kenyataannya, mudaranya lebih banyak. Organisasi yang membiarkan nepotisme tanpa kendali terbukti berkinerja medioker (jika tidak mau dikatakan inferior), tidak super. Meritokrasi tetap menjadi pilihan terbaik jika organisasi ingin unggul dan berkinerja maksimal.

Baca :   Promosi Senyap: Siap-Siap Termotivasi atau Terdemotivasi?

Bagaimana dengan bisnis keluarga? Boleh jadi, nepotisme bisa diterima asalkan tetap mempertimbangkan kompetensi dan profesionalisme. Hal ini sesuai dengan namanya, yaitu bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga. Tentunya, posisi strategis diupayakan untuk tetap diisi oleh keluarga.  Kabar baiknya, bisnis keluarga berkepentingan untuk menjaga reputasi bukan saja bisnis melainkan juga keluarga.

Jika bisnis keluarga ambruk atau rusak nama baiknya, kehidupan keluarga dalam bahaya. Untuk itu, mereka membutuhkan orang-orang kompeten, yang kerap harus direkrut dari luar keluarga. Oleh karenanya, mereka sedapat mungkin mengendalikan nepotisme. Bagaimanakah caranya? Dengan menetapkan aturan dan kriteria yang  jelas dan ketat bagi anggota keluarga yang ingin bekerja dalam perusahaan. Di samping itu, aturan harus ditegakkan secara adil. Jika ada anggota keluarga yang melanggar aturan, tidak boleh dibiarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait