Cultural Fit vs. Skill Sets: Memilih Kandidat yang Tepat untuk Pengusaha Lokal

Cultural Fit vs. Skill Sets: Memilih Kandidat yang Tepat untuk Pengusaha Lokal

Cultural Fit vs. Skill Sets: Memilih Kandidat yang Tepat untuk Pengusaha Lokal. Pak Doni adalah seorang pemilik restoran terkenal di sebuah daerah. Orang tertarik datang ke restorannya lantaran nuansa budaya lokal yang diusungnya. Mulai dari makanan, gaya berpakaian pramusaji dan karyawan, desain bangunan, latar belakang musik, dan sebagainya.

Dalam rangkan ekspansi, Pak Doni ingin merekrut seoirang manajer restoran baru. Adapun tugas dan tanggung jawabnya adalah melatiih karyawan baru, mengelola aktivitas operasional harian, dan tentu saja melayani pelanggan dengan sebaik-baiknya sehingga mereka merasakan pengalaman yang menyenangkan. Ada dua calon yang berhasil memasuki tahap akhir seleksi, yaitu Edi dan Ali.

Edi memiliki pengalaman selama lebih dari tahun di restoran cepat saja yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia. Tentunya, ia paham tentang seluk beluk pengelolaan restoran modern. Di samping itu, ia pernah mengikuti pelatihan di luar negeri. Namun, pemahamannya tentang budaya dan adat istiadat lokal tidak mendalam. Gaya berkomunikasinya formal dan cenderung kaku.

Sementara itu, pengalaman Ali belum se”mendunia.” Edi. Jabatannya saat ini adalah kepala pramusaji di restoran cepat saji juga. Dalam hal pengurusan administrasi, teknologi, dan sistem, ia juga sekuat Edi. Namun, karena lahir dan besar di daerah yang sama dengan Pak Doni, pemahamannya tentang budaya lokal jauh lebih baik dibandingkan Edi.

Jika memilih Edi, restoran akan lebih modern. Namun, restoran berisiko kehilangan ruh tradisionalnya. Karakter khas lokal dapat meluntur, bahkan pudar. Belum lagi potensi gejolak yang dialami karyawan lantaran harus bekerja dengan cara-cara baru, bahkan bertentangan dengan nilai dan tradisi yang mereka anut. Sedangkan jika memilih Ali, ciri khas restoran akan dipertahankan. Namun, modernisasi dan efisiensi jadi tantangan sehingga Pak Doni harus memberikan pelatihan tambahan.

Baca :   Pengembangan Karier Non-linear: Sebuah Alternatif

Akhirnya, Pak Doni memutuskan untuk memiliki Ali. Baginya, nuansa budaya lokal tetap wajib dipertahankan lantaran inilah sumber keunggulan bersaing restoran miliknya. Agar pengelolaan restoran lebih modern, di samping pelatihan, dibutuhkan teknologi yang sesuai.

Cultural Fit vs. Skill Sets: Memilih Kandidat yang Tepat untuk Pengusaha Lokal

Pengusaha lokal, seperti cerita pak Doni di atas, sering menghadapi dilema antara mendahulukan kecocokan budaya (cultural Fit) atau skill set. Mana yang harus dikedepankan?

Mari kita perjelas dulu soal kecocokan budaya. Kecocokan budaya terwujud tatkala calon karyawan memiliki nilai-nilai dan gaya kerja yang sejalan dengan visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut perusahaan. Kecocokan budaya mencakup kepribadian, pendekatan mereka terhadap pekerjaan, interaksi dengan orang lain, dan adaptasi dengan budaya dan adat istiadat lokal. Jangan sampai, ketidakpahaman calon karyawan terhadap budaya lokal menimbulkan ketegangan di antara karyawan dan dengan pelanggan lokal.

Sedangkan skill set adalah sekumpulan kemampuan, pengetahuan, dan kompetensi yang dimiliki seseorang. Skill set ini dapat dipelajari melalui berbagai cara, termasuk pendidikan, pelatihan, pengalaman hidup, dan praktik. Keahlian biasanya digunakan untuk melakukan tugas atau fungsi tertentu, dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti pekerjaan, tugas hidup, dan hobi.

Bagi pengusaha lokal, ketidakcocokan budaya berdampak serius. Kohesi tim rusak. Susasana kerja menjadi tidak nyaman. Akibatnya, produktivitas, bahkan operasi perusahaan, dapat terganggu. Oleh karenanya, kecocokan budaya menjadi penting demi suksesnya kerja sama tim, komitmen karyawan, dan kemampuan beradaptasi. Karyawan yang cocok dengan budaya lokal dan perusahaan lebih mudah untuk bekerja sama. Proses kerja menjadi lancar. Hasil kerja lebih memuaskan. Karyawan akan betah bekerja di perusahaan yang nilai-nilai dan budayanya selaras dengan dirinya. Mereka akan berpikir dua kali untuk hengkang. Bagi perusahaan, hal ini menghemat biaya perekrutan dan pelatihan. Karyawan di Perusahaan lokal yang masih kecil akan mengerjakan banyak tugas sekaligus. Ini tentu tidak mudah. Namun jika budaya dan adat istiadatnya cocok, karyawan ini tetap bersemangat untuk bekerja.

Baca :   Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis

Salah satu perusahaan yang setia mempertahankan warna budaya lokal adalah Air New Zealand, maskapai nasional Selandia Baru. Air New Zealand sangat terinspirasi oleh budaya Maori, penduduk asli Selandia Baru. Desain interior pesawat, seragam kru, dan video keselamatan sering mengangkat elemen budaya Māori, termasuk bahasa dan seni. Ada juga Manaakitanga. Artinya mengekspresikan kebaikan dan rasa hormat kepada orang lain, menekankan tanggung jawab dan timbal balik. Intinya adalah keramahan dan kepedulian pada orang lain. Air New Zealand sangat memerhatikan keberlanjutan. Hal ini sesuai dengan karakter masyarakat Selandia Baru yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Tak heran dalam perekrutan, maskapai yang didirkan pada 1940 itu senantiasa mencari kandidat yang mampu mengekspresikan nilai keramahan dan menghormati warisan budaya lokal dalam layanan.

Agar maju, perusahaan tak boleh terpaku pada sentimen budaya lokal semata. Berbekar skill set karyawan, perusahaan dapat menghemat waktu dan biaya lantaran talenta dapat langsung dimanfaatkan untuk mendongkrak kinerja. Tak sampai di situ, perusahaan pun tetap bertahan di tengah gempulan pesaing. Dibandingkan dengan kecocokan budaya, skill set lebih mudah diukur. Pengukuran bisa dilakukan dengan melalui tes, mengacu padda pengalaman kerja, atau pendidikan dan sertifikasi yang pernah didapat. Dengan kata lain, skill set lebih objektif.

Baca :   Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis

Tak Boleh Dibenturkan

Cultural fit dan skill set tak boleh dibenturkan. Kedua-duanya penting. Kuncinya adalah mencari keseimbangan. Caranya? Sebelum merekrut, tentukanlah hal-hal yang tidak boleh tidak ada di dalam keduanya. Dalam cultural fit, yang harus dimiliki adalah pemahaman terhadap budaya lokal. Untuk skill set, tentukanlah jenis keterampilan yang memang harus dimiliki oleh kandidat. Jika satu saja tidak terpenuhi, kandidat tentunya dianggap tidak memenuhi syarat. Selanjutnya, pertanyaan perilaku dapat mengungkapkan apakah seorang kandidat selaras dengan budaya perusahaan. MIsalnya, pewawancara dapat mminta kandidat menceritakan apa yang ia lakukan tatkala harus beradaptasi dengan budaya perusahaan yang

Jika memang “segalanya” lantaran perusahaan lekat dengan budaya daerah tertentu, seperti dalam kasus Pak Doni di atas, cultural fit boleh didahulukan meski keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan teknis tidak menonjol. Namun, dengan catatan penting: kandidat tersebut harus punya kemampuan yang kuat untuk belajar. Perusahaan harus fasilitasi proses belajar ini. Tujuannya tentu untuk meningkatkan kompetensi si karyawan.

Cultural Fit vs. Skill Sets: Memilih Kandidat yang Tepat untuk Pengusaha Lokal

Kategori: Organization Development & Behavior

#cultural fit #skill set #kohesi #Air New Zealand

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait