Memimpin dengan Akal dan Hati

Memimpin dengan Akal dan Hati

Memimpin bukan hanya tentang strategi dan eksekusi. Kedua hal tersebut jelas sangat penting, tetapi tidak cukup.  Pemimpin sejati dibutuhkan untuk membangkitkan semangat, menginspirasi, dan menyatukan orang dalam menggapai visi bersama. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang menyeimbangkan kecerdasan akal dengan ketulusan hati. Inilah yang disebut dengan one head one heart leadership.

Akal bagaikan kompas yang mengarahkan pemimpin dalam mengambil keputusan yang tepat. Kemampuan analitis, logis, dan strategis menjadi fondasi untuk merumuskan visi, menyusun rencana, dan mengatasi masalah. Pemimpin yang cerdas mampu membaca situasi dengan cermat, mempertimbangkan berbagai perspektif, dan memilih solusi yang terbaik bagi tim dan organisasi. Mereka mengandalkan data, penalaran logis, dan pandangan ke depan untuk menghadapi tantangan dan mendorong kinerja. Pendekatan rasional ini penting untuk menjaga arah, efisiensi, dan produktivitas dalam organisasi.

Bagaimanakah dengan ketulusan hati (one heart)? Hati dalam kepemimpinan menandakan kecerdasan emosional, empati, dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Pemimpin yang memimpin dengan hati memprioritaskan pemahaman serta menghargai emosi dan perspektif anggota timnya.

Mereka menumbuhkan lingkungan yang menciptakan rasa saling percaya dan keamanan psikologis sehingga karyawan merasa dihargai serta termotivasi.  Aspek heart ini sangat penting untuk membangun hubungan interpersonal yang kuat, menyelesaikan konflik secara efektif, dan mempertahankan tingkat keterikatan dan semangat kerja karyawan.

Di masa lalu, kepemimpinan sering kali memisahkan kemampuan akal dengan ketulusan hati. Keduanya seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. Namun, kompleksitas tantangan organisasi modern menuntut pendekatan yang lebih terpadu. Pemimpin harus mampu untuk tidak hanya meguasai masalah strategi dan eksekusi, tetapi juga menyertakan aspek kemanusiaan dan emosional yang secara signifikan berdampak pada dinamika dan kinerja tim.

Baca :   Dampak PHK dan Transformasi

Memimpin dengan Akal dan Hati, Mengapa Lebih Berhasil?

Terdapat manfaat-manfaat bagi yang memimpin dengan akal dan hati sekaligus. Pertama, menunjukkan kepada timnya bahwa sang pemimpin tidak hanya kompeten secara teknis tetapi juga penuh perhatian dan rasa belas kasih.  Tentunya, ini mendongkrak kredibilitas sang pemimpin.

Berikutnya, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Keputusan yang memadukan analisis logis dan dampak emosional cenderung lebih holistis dan berdampak positif lebih panjang. Pemimpin yang mengintegrasikan empati ke dalam proses pengambilan keputusan lebih mudah memprediksi dampak potensial dari keputusan mereka terhadap semangat dan motivasi tim.

Lingkungan yang menghargai pemikiran rasional dan kesejahteraan emosional mendorong kreativitas. Karyawan lebih berani mengambil risiko dan berpikir out of the box ketika mereka merasa didukung dan dipahami oleh pemimpinnya.

Perubahan adalah hal yang konstan dalam dunia bisnis saat ini. Pemimpin yang menyeimbangkan empati dengan pemikiran strategis dapat mengelola transisi dengan lebih efektif, mengatasi elemen teknis dan manusia yang terlibat.

Dampak Kepemimpinan Tanpa Hati: Kisah Uber dan Travis Kalanick

Lantas bagaimanakah penerapan one head one heart leadership ini dalam praktiknya? Marilah kita mulai dari tugas awal seorang pemimpin, yaitu menciptakan visi dan strategi. Pemimpin harus mampu mengaitkan visi dan strategi yang ia miliki dengan nilai-nilai yang dianut pengikutnya.

Berikutnya dalam hal komunikasi. Pemimpin yang baik adalah sekaligus komunikator yang andal. Mereka berkomunikasi dengan kejelasan dan kasih sayang. Mereka memastikan bahwa pesan-pesan mereka tidak hanya dipahami tetapi juga meresap ke dalam sanubari dan mengikat pengikut secara emosional. Hal ini melibatkan mendengarkan secara aktif, dialog terbuka, dan mengatasi kekhawatiran dan perasaan anggota tim.

Baca :   Tips Mengelola Pekerja Gig

Tidak ada organisasi yang benar-benar sepi dari konflik. Bahkan, dalam derajat tertentu, konflik dibutuhkan demi dinamika organisasi. Saat menyelesaikan konflik, pemimpin harus menggabungkan analisis rasional terhadap masalah dengan empati terhadap individu yang terlibat. Pendekatan yang seimbang ini menghasilkan solusi yang adil dan mempertimbangkan sudut pandang semua orang.

Memberikan umpan balik adalah aspek penting dari kepemimpinan. Pemimpin harus memberikan umpan balik yang konstruktif dan suportif, menggabungkan wawasan spesifik berdasarkan data dengan dorongan dan empati untuk membantu anggota tim berkembang.

Apa dampaknya jika pemimpin memimpin tanpa hati? Akibatnya sungguh mengerikan. Mari kita lihat kasus Uber, perusahaan transportasi online terbesar di dunia. Khususnya sang pendiri, Travis Kalanick. Ia menjabat sebagai CEO Uber pada 2009 hingga 2017. Di bawah kepemipinannya, Uber tumbuh pesat. mendisrupsi industri taksi tradisional dan berkembang secara global.

Namun, reputasi  Kalanick mulai terpuruk sejak 2014 akibat sikap kejamnya terhadap pesaing, regulator, pelanggan, karyawan, dan pengemudi Uber. Budaya perusahaan Uber di bawah Kalanick sangat melelahkan. Karyawan diminta bekerja malam hari dan akhir pekan secara teratur tanpa kompensasi tambahan, dan panggilan konferensi sering kali dijadwalkan sepanjang malam. Semuanya demi pertumbuhan dan pangsa pasar. Kalanick menyukai karyawan yang bersedia melakukan apa pun demi kemajuan perusahaan, meskipun hal itu mengakibatkan pertikaian kronis. Ia mengizinkan penggunaan taktik spionase industri terhadap pesaing dan regulator, dan mendorong pengembangan dan penggunaan program pengawasan pengendara. Laporan mengenai budaya kerja yang beracun di Uber muncul, termasuk tuduhan pelecehan, diskriminasi, dan balas dendam. Gaya kepemimpinan Kalanick, yang ditandai dengan kurangnya empati dan kecerdasan emosional, gagal mengatasi atau mencegah masalah ini. Bahkan, ia dikenal suka melindungi karyawan yang menjadi favoritnya meski terlibat dalam perbuatan tercela.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Karyawan mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap budaya agresif perusahaan dan kurangnya dukungan. Fokus Kalanick pada hasil dibandingkan hubungan antarmanusia mengakibatkan lingkungan kerja yang memburuk dan tingkat turnover yang tinggi.

Uber menghadapi banyak skandal di bawah kepemimpinan Kalanick, termasuk tuduhan pelecehan, tuntutan hukum dari Google Waymo atas pencurian kekayaan intelektual, dan kampanye #DeleteUber, yang secara signifikan merusak reputasinya.

Puncaknya, Kalanick mengundurkan diri pada 2017,  dipicu oleh tekanan dari investor dan pemangku kepentingan yang mengkhawatirkan arah dan reputasi perusahaan. Kepemimpinan Kalanick sangat condong pada strategi yang agresif (akal atau head) tanpa mempertimbangkan empati dan perilaku etis (hati). Ketidakseimbangan ini menyebabkan konflik internal dan eksternal, sehingga merusak merek dan moral karyawan Uber.

Kategori: Leadership

#kepemimpinan

#pemimpin

#akal

#hati

#head

#heart

#oneheadoneheartleadership

#uber #kalanick

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait