Talent Drain: When Stars Leave

Talent Drain: Saat Bintang Memutuskan Hengkang

Talent Drain: Saat Bintang Memutuskan Hengkang. Annie sedang menatap layar telepon pintarnya ketika sebuah notifikasi surat elektronik (e-mail) masuk. Sebuah e-mail dari Jane, seorang manajer senior yang telah bergabung dengan perusahaan selama 12 tahun serta menjadi tulang punggung tim yang dipimpin Annie. Subjek e-mal membuatnya terkejut “Surat Pengunduran diri.” Ya, Jane memutuskan untuk hengkang dari tempatnya bekerja selama ini. Tak pernah terpikirkan oleh Annie bahwa Jane mengambil langkah drastis ini. Padahal, Jane dikenal dengan dedikasi dan komitmennya yang tinggi.

Jane bukanlah orang pertama yamg hengkang dalam delapan bulan terakhir. Dalam waktu yang relatif singkat itu, tiga orang telah mengundurkan diri. Alasannya bermacam-macam, mulai dari “mencari lokasi kerja yang lebih terjangkau,” “ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga,” “ingin membangun bisnis sendiri,” “mencari peluang karier dan tantangan baru,” “ingin gaji yang lebih besar,” dan sebagainya. Yang memprihatinkan, mereka yang mundur adalah orang-orang bertalenta di atas rata-rata.

Talent Drain: Saat Bintang Memutuskan Hengkang

Fenomena yang dialami oleh perusahaan tempat Annie bekerja disebut dengan talent drain. Istilah ini juga sering disebut brain drain. Fenomena ini terjadi tatkala ketika individu yang terampil, berbakat, atau berpendidikan tinggi meninggalkan suatu organisasi, wilayah, atau negara untuk mencari peluang yang lebih baik di tempat lain. Fenomena ini dapat memiliki implikasi yang signifikan bagi perusahaan, industri, dan ekonomi, karena sering kali mengakibatkan hilangnya keahlian, inovasi, dan kepemimpinan yang penting.

Mengapa talent drain terjadi? Mari kembali ke kisah Annie dan Jane di atas.

Setelah sesi perpisahan sederhana di kantor, Jane berbincang-bincang dengan temannya, Reni. Kebetulan, Reni bekerja dalam industri yang sama dengan Jane. “Saya Capek,” kata Jane. “Rasanya, tak seorang pun yang menghargai kerja keras saya selama ini, Saya sudah berkali-kali bekerja lembur untuk proyek-proyek besar. Entah berapa banyak waktu akhir pekar yang harus saya korbankan. Tapi apresiasinya? Ucapan terima kasih pun tak ada.”

Baca :   Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis

Kurangnya penghargaan kerap menjadi alasan seseorang mencari peluang lebih baik di perusahaan lain. Penghargaan bukan hanya yang sifatnya finansial. Pujian, waktu libur yang lebih panjang, dan promosi juga merupakan bentuk penghargaan. Jika seseorang merasa tidak dihargai, ia tentunya bertanya: Apa gunanya bekerja mati-matian?

Lingkungan kerja yang tidak kondusif, bahkan beracun, tentunya membuat orang tidak kerasan. Cepat atau lambat, mereka akan hengkang. Di tempat kerja Annie, berembus kabar bahwa eorang direktur senior sering membentak karyawan saat meeting, padahal kesalahan karyawan tersebut tidaklah fatal. Bukan hanya itu, sang direktur senior kerap meremehkan pendapat orang lain yang dianggap tidak satu “kelompok”. Jika ada kesalahan, ia selalu mencari kambing hitam. Jane memang tak terlibat langsung dengan kondisi ini. Meski demikian, praktik yang demikian itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ia anut. Empatinya memang tinggi. Ia kerap membayangkan apa jadinya jika ia berada dalam posisi macam itu.

Ingatlah bahwa salah satu alasan seseorang meninggalkan perusahaan adalah ketidaksesuaian antara nilai-nilai dan budaya perusahaan dengan nilai-nilai yang ia anut.

Kekecewaan Jane memuncak ketika ia meminta untuk ikut dalam program pengembangan kepemimpinan. Namun, permintaan ini ditolak dengan alasan anggaran yang tidak cukup. Sakit hatinya bertambah ketika posisi yang ia inginkan justru diberikan pada orang yang kurang kompeten. Alasannya? Orang itu pandai mengambil hati eksekutif perusahaan.

Baca :   Mendobrak Silo Mentality Melalui Mobilitas Talenta

Selalu berambisi mengembangkan diri merupakan salah satu ciri khas seorang bertalenta unggul, seperti Jane di atas. Mereka dengan mudah mencari peluang pengembangan diri di tempat lain jika organisasi saat ini tidak mendukung.

Jane merasa begitu banyak waktu tersita hanya untuk pekerjaannya. Ia kerap harus membatalkan acara keluarga di akhir pekan lantaran menerima panggilan dari kantor. Ia pun kerap pulang malam dan mendapati anaknya sudah tidur. Bukan hanya itu, kesehatannya adakalanya terganggu meski tidak berat. Akhirnya, ia sadar bahwa hidupnya tidak seimbang. Waktu untuk kehidupan pribadi makin sempit.

Organisasi yang tidak mendukung work-life balance banyak disukai karyawan bertalenta unggul. Saat ini, banyak orang makin sadar pentingnya kesehatan, baik fisik maupun mental.

Tak Lagi Bergairah

Hengkangnya Jane berdampak negatif bagi perusahaan. Proyek yang sedang berjalan terpaksa diserahkan kepada orang lain. Dari sisi keterampilan dan pengalaman, orang tersebut masih kalah dari Jane. Anggota tim tidak lagi bergairah karena kehilangan pemimpin yang mampu memotivasi dan menginspirasi mereka. Tak heran pikiran untuk turut meninggalkan perusahaan mulai terlintas di benak mereka.

Itulah dampak hilangnya orang-orang bertalenta unggul. Semangat kerja menurun, Produktivitas dan kualitas kerja ikut anjlok. Reputasi perusahaan sebagai penyedia layanan dan produk bermutu turut terdampak. Belum lagi cerita-cerita tentang suasana kerja perusahaan.

Kabar baiknya, Annie tak tinggal diam. Ia mulai sadar bahwa penurunan ini harus dihentikan, sebelum terlambat. Apa yang dilakukan Annie? Ia berupaya menyusun sistem penghargaan agar lebih adil dan transparan. Prestasi tiap-tiap anggota tim, betapa pun kecilnya, diberi penghargaan, baik secara pribadi maupun di depan orang lain. Dengan cara ini, budaya menghargai orang yang berprestasi pelan-pelan mulai tumbuh.

Baca :   Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership

Annie juga sadar pentingnya komunikasi terbuka. Ia mengadakan sesi diskusi terbuka setiap bulan. Dalam sesi ini, setiap anggota tim boleh menyampaikan ide, keluhan, atau saran tanpa takut dihakimi dan dihukum.

Dengan komunikasi terbuka, karyawan akan merasa dihargai pendapatnya. Ketidakpuasan langsung diupayakan untuk diatasi sebelum memuncak.

Untuk berinvestasi dalam pengembangan karyawan, Annie mengusulkan peningkatan anggaran untuk pelatihan, memberikan kesempatan rotasi antar divisi, dan mendukung inisiatif pembelajaran individu. Melalui upaya pengembangan ini, karyawan bertalenta tinggi diharapkan tetap kerasan di perusahaan.

Annie juga membuat kebijakan untuk meningkatkan work-life balance. Ini membantu menjaga kesehatan mental dan fisik karyawan, sehingga mereka lebih produktif dan bahagia di tempat kerja.

Talent drain bisa terjadi setiap organisasi, apa pun bentuk, ukuran, dan badan hukumnya. Aset paling berharga bagi organisasi adalah karyawan bertalenta unggul. Tidak mudah mempertahankan mereka. Dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh.

Talent Drain: Saat Bintang Memutuskan Hengkang

Kategori: Human Capital & Talent Management

#talent drain #penghargaan #lingkungan kerja #pengembangan diri #work-life balance #transparan #komunikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait