Howard Schultz, mantan CEO Starbucks, pernah mengatakan bahwa transparansi adalah mata uang (currency) kepemimpinan. Artinya, harus menjadi seorang yang jujur.
Berdasarkan penelitian Edelman, pada 2014 hanya 52 persen karyawan yang yakin perusahaan bersikap transparan kepada mereka. Pada 2022, 78 persen karyawan menyatakan mereka percaya dengan perusahaan. Kendati meningkat, masih banyak ruang untuk perbaikan terkait transparansi.
Apa itu transparansi? Transparansi adalah praktik berbagi informasi secara terbuka dengan pemangku kepentingan (stakeholders), baik internal maupun eksternal, tentang aktivitas, keputusan, dan kinerja organisasi. Transparansi mencakup penyediaan informasi yang jelas dan mudah diakses tentang tujuan, strategi, kesehatan keuangan, proses pengambilan keputusan, dan aspek-aspek lainnya dalam organisasi. Kata relevan perlu ditekankan di sini. Simon Sinek, pengarang buku Leaders Eat Last, pernah mengatakan bahwa transparansi bukan berarti membagikan setiap detail, meiainkan berarti menyediakan konteks untuk keputusan. Tidaklah tepat untuk bersikap transparan kepada semua orang tentang segala hal. Informasi yang sifanya pribadi tentu tidak bisa dibagikan karena tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi perusahaan.
Transparansi bertujuan untuk membangun kepercayaan, menumbuhkan akuntabilitas, dan mendorong budaya keterbukaan. Dengan demikian, segala asumsi yang salah dapat dicegah. Sebaliknya, kurangnya transparansi menimbulkan berbagai dampak negatif. Mulai dari ketidakpercayaan karyawan terhadap organisasi; berkembang aneka rumor, spekulasi, dan kesalahpahaman; renggangnya hubungan antarkaryawan serta antara karyawan dan pimpinan; menurunnya kualitas pengambilan keputusan; dan memudarnya etika. Di samping itu, saat organisasi mengalami krisis, komunikasi yang terbuka dan transparan amatlah krusial. Tanpa komunikasi yang terbuka dan transparan, rumor dapat menyebar luas sehingga krisis lebih sulit dikendalikan.
Kisah Sam Altman dan OpenAI bisa menjadi pelajaran. Pada pertengahan November 2023, Sam Altman dipecat dari posisinya sebagai CEO OpenAI. Altman dituding tidak jujur dalam komunikasi dengan board. Akibatnya, board tidak lagi percaya pendiri perusahaan yang menjadi kesuksesan arsitek ChatGPT itu. Di samping Altman, rekan pendirinya Greg Brockman juga dicopot dari kursi board. Belum jelas apa yang dimaksud dengan pernyataan dewan direksi OpenAI. Pihak dewan juga tidak menjelaskan lebih lanjut soal hal apa yang dianggap tidak jujur dalam pernyataan Altman.
Pemecatan ini ternyata menimbulkan gejolak. Ratusan karyawan OpenAI, melalui petisi yang mereka teken, mengancam untuk mengundurkan diri dari perusahaan dan mendesak dewan direksi mundur usai CEO Sam Altman dipecat secara mendadak. Para karyawan ini menuduh board gagal memberikan bukti yang meyakinkan mereka bahwa Altman tidak berterus terang kepada board. Mereka juga menuntut agar Altman dikembalikan posisinya sebagai CEO OpenAI.
Sementara itu Elon Musk, pemimpin Tesla yang pernah menjadi anggota board OpenAI, mendesak agar board menjelaskan secara terbuka alasan pemecatan Altman. Musk yakin bahwa transparansi sangat diperlukan mengingat tingginya risiko AI. Oleh kareanya, bukan hanya internal perusahaan, melainkan masyarakat juga harus mengenahui latar belakang pemberhentian Altman.
Akhirnya setelah lima hari sebelumnya dipecat, yang diikuti diskusi, perdebatan, dan persuasi alot Sam Altman akhirnya kembali menjadi CEO OpenAI. Dalam keterangan resminya, OpenAI mengatakan telah mencapai kesepakatan prinsip agar Altman kembali sebagai CEO. Selain itu OpenAI juga memiliki direksi baru yang terdiri dari mantan CEO Salesforce Bret Taylor, mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers, dan CEO Quora Adam D’Angelo.
Kekisruhan di OpenAI barangkali tidak akan terjadi seandainya perusahaan transparan terkait dan alasan pemecatan eksekutifnya, termasuk CEO. Ini pula esensi dari protes dan ancaman karyawan untuk mundur dari perusahaan. Mereka menginginkan penjelasan yang transparan.
Lantas bagaimanakah caranya membudayakan transparasi dalam organisasi? Paling utama, keteladanan pemimpin. Pemimpin tentunya harus menunjukkan transparansi dalam berkomunikasi dan bertindak. Sikap pemimpin yang demikian itu akan dihargai dan dicontoh olah karyawan. Berikutnya, komunikasi terbuka. Lingkungan kerja yang mengedepankan transparansi pastilah akan mendorong komunikasi terbuka. Artinya, orang akan berbicara tanpa rasa takut tentang kebijakan baru perusahaan, misalnya. Komunikasi yang terbuka tidak hanya mengurangi risiko karyawan menyimpan kebencian, namun juga dapat membawa perubahan positif di seluruh organisasi. Tak kalah penting adalah memberikan informasi secara berkala tentang perkembangan organisasi, termasuk pencapaian dan masalah yang dihadapi. Pemanfaatan teknologi dapat pula meningkatkan transparansi dan objektivitas lantaran informasi akan lebih mudah diakses.
Seperti dikemukakan sebelumnya, transparansi bukan berarti membagikan semua informasi. Agar objektif, perlu dijelaskan kriteria informasi yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan. Di samping itu, buatlah panduan mengenai cara menangani informasi yang sensitif.
#transparansi #howardschultz #starbucks #samaltman #openai #chatgpt
Related Posts:
Peran Digital Badge dalam Meningkatkan Kredibilitas Keterampilan Kandidat
Blending Skill-Based Hiring and Microcredentials: Faster Recruitment for Better Results
Kecerdasan Kolektif demi Organisasi yang Transformatif
Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar
Blind Hiring: Reducing Bias in a Recruitment Process