Kepemimpinan

Pemimpin Buzzword vs. Kepemimpinan yang Benar-Benar Terlibat

Di dunia yang dipenuhi unggahan status di media sosial, kutipan penyemangat, dan poster nilai-nilai perusahaan yang menghiasi dinding kantor, kita mungkin mudah tergoda untuk berpikir bahwa “keterlibatan karyawan” sudah menjadi hal yang umum. Para pemimpin sering kali berbicara tentang hal ini. “Kami ingin membangun budaya yang unggul,” begitu klaim mereka. Namun nyatanya, ada jurang yang semakin dalam antara retorika para pemimpin soal keterlibatan dengan tindakan nyata mereka. Perbedaan antara keterlibatan sebagai sekadar jargon (buzzword) dan keterlibatan yang autentik mencerminkan seriusnya kegagalan kepemimpinan—dan kemampuan mengatasi hal ini bisa menjadi penentu masa depan sebuah tim, divisi, atau bahkan perusahaan.

Lihatlah rapat strategi perusahaan atau retret kepemimpinan, dan Anda hampir pasti akan mendengar jargon-jargon yang sudah terlalu sering diucapkan. Misalnya,  “Yuk, beri ruang bagi karyawan untuk berkembang dan menunjukkan potensi terbaik mereka.” “Kami mendorong setiap orang untuk merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pekerjaan mereka.” “Buat kami, bikin karyawan betah dan terlibat itu hal yang utama.”

Ucapan-ucapan ini sebenarnya tidak salah, bahkan baik. Masalahnya,  ucapan-ucapan tersebut sering kali hanya menjadi slogan—terdengar menggugah, tapi tidak diikuti aksi nyata. Istilah-istilah itu berubah menjadi sekadar kata kunci: menarik di telinga, tetapi hampa dalam pelaksanaan.

Survei Gallup 2023 mengungkapkan ironi yang mencolok: meskipun 85 persen eksekutif mengklaim keterlibatan karyawan sebagai “prioritas utama,” hanya 21 persen karyawan di seluruh dunia yang benar-benar merasa terlibat di tempat kerja. Jurang yang lebar ini membuktikan bahwa banyak pemimpin hanya pandai berbicara tentang keterlibatan, tanpa benar-benar mewujudkannya.

Keterlibatan Hanya di Permukaan

Keterlibatan karyawan sering kali hanya terlihat di permukaan, tetapi tidak membawa dampak signifikan. Hal ini tecermin dalam berbagai praktik seperti slogan-slogan yang meski inspiratif namun tidak didukung sistem yang nyata; tak pernah ditindaklanjutinya masukan karyawan; survei kepuasan karyawan yang hasilnya hanya menjadi arsip tanpa aksi nyata; program penghargaan yang hanya diberikan kepada segelintir nama yang sudah tidak asing lagi; dan kebijakan “pintu terbuka” yang sekadar formalitas, tanpa keluhan karyawan benar-benar didengarkan.

Baca :   Ketika Budaya Organisasi Kehilangan Arah: Risiko Struktur yang Terlalu Fleksibel
kepemimpinan

Keterlibatan semacam ini hanya berfokus pada pencitraan, bukan pada hasil yang berarti. Para pemimpin yang terjebak dalam model kepemimpinan ini lebih peduli pada tampilan seolah peduli daripada menciptakan lingkungan kerja di mana karyawan benar-benar merasa dilihat, didengarkan, dan diberdayakan.

Mengapa pemimpin terjebak dalam keterlibatan semu? Penyebabnya mulai dari takut akan kehilangan kendali, tekanan agar pemimpin dan perusahaan terlihat bergerak ke arah  kemajuan; pemimpin yang memang tidak kapabel; dan terputus dari kenyataan sehari-hari sehingga kebijakan yang dibuat tidak relevan.

WeWork dan Kepemimpinan Buzzword-nya

Kasus WeWork dapat menjadi contoh bagaimana perusahaan hanya sibuk dengan buzzword, namun kurang dalam keterlibatan nyata. WeWork adalah penyedia ruang kerja bersama (co-working space) , termasuk ruang bersama fisik dan virtual, di sekitar 600 gedung di 125 kota. Perusahaan ini berkantor pusat di New York, Amerika Seriikat (AS).

Di puncak kesuksesannya, WeWork dipandang sebagai perusahaan yang mengubah segalanya. Bukan hanya dalam bisnis ruang kantor, tetapi juga budaya kerja. Adam Neumann, sang CEO kala itu, kerap berbicara tentang visi besar seperti ‘meningkatkan kesadaran dunia’, ‘membangun komunitas’, dan ‘mendorong orang untuk mencapai potensi terbaik mereka’. Budaya internal WeWork pun sarat dengan kata-kata seperti tujuan, semangat, budaya, dan makna—semuanya menjadi jargon andalan untuk membangun keterlibatan.

Baca :   Perlukah Kepemimpinan Karismatik dalam Transformasi Bisnis?

Namun, di balik kata-kata yang indah-indah itu, tersembunyi budaya kepemimpinan yang semakin menuai kritik karena beberapa alasan: minimnya transparansi dalam hal kondisi keuangan dan pengambilan keputusan strategis perusahaan; dominasi berlebihan dari pimpinan, meski sering digaungkan soal pemberdayaan dan kemandirian tim; rendahnya budaya mendengarkan, karyawan merasa berada dalam lingkungan yang hierarkis dan tidak menerima perbedaan pendapat, serta eksekutif menikmati tunjangan mewah, sementara staf bekerja di bawah tekanan tinggi.

Pada 2019, kegagalan IPO WeWork dan gejolak internal yang terjadi membuktikan bahwa janji-janji keterlibatan hanyalah retorika belaka. Kepercayaan karyawan menurun drastis, terjadi pergantian eksekutif yang tinggi, dan hasil survei budaya menunjukkan tingkat kekecewaan yang besar.

Kisah WeWork memberikan pelajaran penting: Bahasa yang indah tanpa kepemimpinan yang kuat akan runtuh ketika diuji. Keterlibatan bukan sekadar tentang tampil visioner, melainkan tentang bertindak secara bertanggung jawab.

Kepemimpinan yang Autentik: Memimpin dengan Keberanian yang Berbeda

kepemimpinan

Kepemimpinan sejati bukan tentang pencitraan atau jargon kosong. Ia hadir dalam ketenangan, konsistensi, dan sentuhan manusiawi yang mendalam. Esensinya sederhana: keterlibatan bukan sekadar program, melainkan hubungan. Anda tidak melibatkan orang dengan kebijakan formal, tetapi dengan membangun kepercayaan, berbagi tujuan bersama, dan menciptakan ruang untuk kontribusi yang bermakna.

Apa sajakah ciri-ciri pemimpin yang memiliki real engagement?

  1. Bertindak, bukan sekadar mendengarkan. Pemimpin sejati tidak hanya mengumpulkan masukan—mereka menindaklanjutinya. Ketika tim mengeluh kelelahan, respon mereka bukan sekadar, “Kami mendengarkan,” melainkan langkah nyata: mengurangi rapat yang tidak penting, menyederhanakan proses, atau menata ulang beban kerja.
  2. Bersikap Jujur dan transparan. Di tengah berkecamuknya tantangan, pemimpin  yang benar-benar terlibat mengakui ketidakpastian, lalu mengajak tim mencari solusi bersama. Jadi, tidak hanya melontarkan kata-kata penyemangat.
  3. Berupaya menyelaraskan pekerjaan dengan nilai-nilai pribadi setiap individu. Mereka mengingatkan bahwa kontribusi setiap orang penting—melampaui sekadar target atau indikator kinerja utama (KPI).
  4. Ruang Aman untuk berkembang. Karyawan harus yakin bahwa mereka bebas mengutarakan pendapatnya tanpa khawatir akan aksi balas dendam.
Baca :   Dari Viral ke Klarifikasi: Mengelola Dampak Cancel Culture

Kepemimpinan semacam ini tidak membutuhkan sorotan, tetapi keberanian untuk konsisten—dalam tindakan, bukan sekadar kata-kata.

Salah satu contoh kepemimpinan yang paling sering dikutip dalam hal keterlibatan nyata adalah Barry-Wehmiller, sebuah perusahaan manufaktur yang dipimpin oleh Bob Chapman. Dalam bukunya, Everybody Matters, Chapman menjelaskan bagaimana mereka mengubah bisnis mereka bukan melalui transformasi teknis, melainkan dengan mentransformasi cara mereka memimpin.

Karyawan diperlakukan sebagai “anak kesayangan seseorang”, dan pengembangan kepemimpinan kurang berfokus pada manajemen, melainkan lebih pada membangun hubungan, mendengarkan, dan melayani. Hal ini menghasilkan keterlibatan, retensi, dan kinerja yang tinggi secara konsisten — semuanya tanpa beban kata kunci korporat yang berlebihan.

#buzzword      #real engagement       #leadership     #keterlibatan karyawan                      #budaya          #slogan                       #survei kepuasan karyawan    #WeWork            #Adam Neumann        #kepemimpinan autentik        #Barry-Wehmiller            #Bob Chapman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait