Merek Bisnis dan Merek Keluarga: Mana yang Lebih Unggul?

Merek Bisnis dan Merek Keluarga: Mana yang Lebih Unggul?

Hampir tiap orang di Jerman tahu Claus Hipp. Siapakah dia? Dia adalah pemilik generasi ketiga Hipp Holding, produsen makanan bayi dan produk-produk perawatan pribadi. Bisnis keluarga (family business)  ini didirikan pada 1932.

Apa yang membuatnya terkenal? Sejak awal 2000-an, ia menjadi wajah periklanan perusahaan. Sejak saat itu, ia muncul di ribuan spot TV di TV nasional, berbicara tentang HIPP sebagai pionir dalam produksi organik. Setiap tempat ditutup dengan baris tanda tangannya: “Untuk ini, saya jamin dengan nama saya” [Dafür stehe ich mit meinem Namen].

Hipp tidak sendiri. Bisnis keluarga ini yakin bahwa nama keluarga adalah jaminan mutu. Di dunia, banyak bisnis keluarga yang dengan bangga menonjolkan “kekeluargaannya”. Mereka menggunakan nama keluarga sebagai nama perusahaan atau merek produk. Misalnya Mars )produsen cokelat terkenal asal Amerika Serikat), Barilla (produsen pasta asal Italia), dan Cargill (konglomerat asal AS). Merek keluarga menekankan identitas, nilai-nilai, dan warisan keluarga sebagai bagian integral dari identitas perusahaan. Pendekatan ini memanfaatkan reputasi, warisan, dan kisah pribadi keluarga untuk membangun kepercayaan dan hubungan dengan pelanggan. Nama keluarga mungkin ditampilkan secara menonjol dalam pencitraan merek, dan mungkin ada penekanan pada kesinambungan antargenerasi. Pelanggan mungkin merasakan keakraban dan loyalitas terhadap merek karena hubungannya dengan keluarga tertentu.

Baca :   Pengembangan Karier Non-linear: Sebuah Alternatif

Namun banyak juga yang sebaliknya. Mereka tidak mau melekatkan nama keluarga dalam bisnis. Bisnis keluarga macam ini  agaknya lebih suka dikenal lewat produk-produknya ketimbang identitas keluarga. berfokus pada produk, layanan, dan nilai-nilai perusahaan itu sendiri, terpisah dari ikatan kekeluargaan. Meski keterlibatan keluarga mungkin masih diakui, penekanan utamanya adalah pada entitas bisnis dan apa yang ditawarkannya kepada pelanggan. Tak heran banyak orang mengenal merek-merek ternama tanpa tahu siapa produsennya. Padahal merek tersebut sebenarnya milik bisnis keluarga.  Contohnya adalah selai cokelat  Nutella. Pemiliknya adalah Ferrero SpA, sebuah perusahaan makanan asal Italia yang didirikan oleh keluarga Ferrero pada 1948.

Jadi, manakah yang lebih baik: menonjolkan identitas atau merek keluarga atau tidak? Faktanya, banyak bisnis keluarga yang sukses dengan mengangkat identitas atau nama keluarga. Namun, demikian pula sebaliknya. Yang tidak menampakkan identitas keluarga juga tak sedikit yang berhasil.

Perlu diingat, makin populer sebuah produk atau perusahaan, makin tajam pula sorotan publik. Tak terkecuali bisnis keluarga. Konsekuensinya, beban untuk menjaga reputasi keluarga menjadi semakin berat. Segala tindak tanduk bisnis keluarga akan senantiasa menjadi pusat perhatian. Jika salah satu anggota keluarga terlibat dalam tindakan yang merugikan, reputasi seluruh keluarga akan tercemar. Apabila identitas keluarga telah terkait erat dengan perusahaan, skandal yang melibatkan anggota keluarga dapat berdampak negatif pada kinerja bisnis perusahaan. Agaknya, karena alasan inilah banyak bisnis keluarga yang enggan menonjolkan identitas keluarganya, apalagi menjadikannya sebagai merek produk. Namun, bukan berarti bisnis keluarga yang tidak menampakkan identitas keluarganya aman-aman saja. Kendati tidak sering disebut, orang saat ini dengan mudah bisa mengetahui bisnis keluarga manakah yang menghasilkan sebuah produk. Demikian pula dengan segala aktivitas yang mereka lakukan. Jadi, setiap tindakan tercela yang dilakukan bisnis keluarga akan mencoreng nama baik keluarga, terlepas identitas keluarga ditampakkan atau tidak.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Tak kalah penting, identitas keluarga tidak selalu berkorelasi positif dengan keberhasilan bisnis. Bahkan, pelanggan banyak yang tidak acuh dengan nama keluarga, bahkan yang terkenal sekali pun. Bagi mereka, yang terpenting adalah kualitas dan ekspektasi produk, bukan pemiliknya.

Membangun Merek Bisnis Keluarga secara Sukses

Terlepas melekatnya identitas keluarga atau tidak, membangun merek bisnis keluarga membutuhkan waktu, tak bisa dilakukan secara instan. Mengenal serta memahami stakeholders menjadi fondasi dasarnya. Menurut Astrachan, brand bisnis keluarga bisa berdampak positif atau negatif terhadap pelanggan dan karyawan. Dampak negatif bisa terjadi bila bisnis keluarga lebih kuat dipersepsikan sebagai bisnis kecil, kuno, kurang transparan, kuat nepotismenya, dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Namun, jika bisnis keluarga mampu membuktikan profesionalitasnya, persepsi ini dengan sendirinya akan runtuh. Tugas para pelaku bisnis keluargalah untuk mengikis persepsi negatif ini.

Baca :   Mendobrak Silo Mentality Melalui Mobilitas Talenta

Identitas bisnis dan identitas keluarga haruslah serasi. Dengan katai lain, visi, misi, dan nilai-nilai keluaga tidak boleh bertentangan dengan visi, misi, dan nilai-nilai bisnis. Identitas inilah yang menjadi landasan kukuh pengembangan merek bisnis keluarga.

Setelah landasan identitas terbangun dengan kukuh, langkah berikutnya adalah membangun citra merek (brand image) bisnis keluarga. Inti dari brand image ini adalah bagaimanakah bisnis keluarga ingin dilihat oleh orang lain.  Citra merek yang positif ini dalam waktu yang cukup lama akan membentuk reputasi.

Dalam mengembangkan merek, tentunya perusahaan harus senantiasa mengedepankan etika, yaitu dengan mengikuti aturan serta norma-norma yang berlaku. Ingatlah bahwa setiap perilaku tercela yang dilakukan oleh anggota keluarga, baik di dalam maupun di luar perusahaan akan meruntuhkan reputasi, baik keluarga maupun bisnis. 

Kategori: Family Business

#familybusiness

#bisniskeluarga

#merekkeluarga

#hippholding

#nutella

#reputasi #brandimage

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait