Menghidupkan-Jenama

Menghidupkan Jenama

Jenama yang tertanam di benak dan hati pelanggannya akan selalu menjadi pilihan kesayangan. Hal ini tentunya akan secara otomatis mendatangkan kesuksesan dan keuntungan.

Sebut saja Harley-Davidson. Apa yang terbayangkan dari benak begitu mendengar jenama itu? Motor besar dan kokoh yang ditunggangi oleh sosok pria perkasa, liar dan gemar berpetualang. Tidak jarang bayangan itu terpatri di benak calon pembeli dan ada rasa di hati ingin menjadi sosok yang dibayangkan itu. Bayangan itu sampai terbawa mimpi. Tak pelak lagi, tidak lama kemudian, dia mendatangi gerai motor besar itu, melihat-lihat, lalu menjatuhkan pilihannya.

Tidak banyak perusahaan yang mampu membangun jenama yang pada akhirnya menjadi ikon budaya di masyarakat. Bahkan kualitas produknya yang lebih rendah akan bisa dimaafkan apabila dibandingkan dengan produk pesaing, asalkan cerita dan identitas jenama mereka beresonansi dengan target pasarnya.

Salah satu jenama tersebut adalah Harley-Davidson. Kalau dilihat kinerjanya dibandingkan dengan sepeda motor pesaing, sepeda motor ini bukan yang tercepat maupun yang terbaik. Akan tetapi, sepeda motor ini memiliki penggemar setia. Meskipun terkadang mengalami masalah teknis seperti kebocoran oli, orang-orang menyukai jenama ini karena kepribadian yang diusungnya. Lalu, mengapa jenama ini sedemikian ikoniknya hingga menjadi sebuah gaya hidup?

Menjadi diri sendiri

Pada tahun 1903, William S. Harley dan Arthur Davidson memperkenalkan sepeda motor Harley-Davidson pertama di bawah naungan Harley-Davidson Motor Company. Menurut pendiri Hells Angels Motorcycle Club, Sonny Barger dalam bukunya, yang terpenting dari sebuah Harley-Davidson adalah suara gemuruhnya yang khas yang tetap terdengar meski kecepatan di bawah 80 mph. “Sebagian besar pengendara Harley tidak peduli dengan kecepatan tinggi, mereka lebih suka torsi low-end, torsi yang berdesir di pangkal paha dan memberi Anda perasaan bertenaga. Sepeda motor Jepang, meskipun memiliki tenaga, mereka tidak memiliki perasaan bertenaga,” ungkapnya. Tidak hanya itu, mengendarai motor bersama teman-teman yang sama-sama mempunyai kecintaan dengan motor besar menjadi suatu kebanggaan tersendiri.

Baca :   Peran Digital Badge dalam Meningkatkan Kredibilitas Keterampilan Kandidat

Dari situ, dapat disimpulkan kalau Harley-Davidson adalah citra jenama yang tangguh, kuat, dan bertenaga. Jelas sekali bahwa jenama ini, melalui strategi pemasarannya, memberi penunggangnya perasaan menjadi diri sendiri, kebebasan untuk bepergian, dan menjalani hidup tanpa aturan.

Menjual filosofi

Membuat jenama menjadi suatu identitas pemakainya tentunya membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar. Melansir Forbes, jenama yang hidup, memiliki jiwa itu menjadi pemenang dalam hati kita, yaitu jenama yang membagikan semangat dan motivasi dengan konsumennya. Bukan sekadar menciptakan identitas perusahaan, jenama yang berjiwa menemukan cara untuk benar-benar terhubung dengan konsumennya.

Lalu bagaimana cara membuat jenama itu berjiwa? Sebenarnya apakah jiwa itu? Jiwa bisa dikatakan sebagai “pengemudi” dalam tubuh. Jiwa atau roh yang keberadaannya membuat tubuh menjadi hidup. Bayangkan, tubuh Anda adalah jenama Anda. Apakah Anda merasakan jenama produk Anda itu hidup dan nyata? Apakah jenama produk itu memiliki jiwa, yang membuatnya terasa hidup?

Baca :   Empati saat Bertransformasi

Jenama yang memiliki makna dalam kehidupan nyata dan bahkan mempunyai nilai-nilai moral tertanam di benak dan hati konsumen, bisa dikatakan memiliki jiwa. Penulis Simon Sinek dalam buku Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action, memaparkan bahwa sebuah jenama harus memberitahukan konsumen alasan mereka melakukan apa yang mereka lakukan, bukan hanya apa yang mereka lakukan. Menjual filosofi sebuah jenama jauh lebih efektif daripada menjual produk, seperti yang dilakukan oleh Harley-Davidson yang menjual kebebasan dan pemberontakan.

Cerita yang jujur

Dari sini, Anda dapat mengembuskan napas ke dalam jenama dengan menetapkan tujuan yang jelas dan mulai merancang cerita di baliknya, serta mempertimbangkan beberapa pertanyaan seperti apakah bisnis Anda merupakan cerminan dari sumber daya manusianya, keyakinan, semangat, motivasi mereka? Seberapa banyak pengalaman yang dialami konsumen ketika memakai produk jenama Anda? Apakah Anda memiliki avatar konsumen inti yang Anda bayangkan dalam segala hal yang Anda lakukan? Apakah semua orang yang berhubungan dengan bisnis Anda mengetahui kisah CEO/pendiri? Kemudian Anda menyelaraskan segala sesuatu yang ada di sekitar jiwa jenama Anda, seperti setiap tindakan, komunikasi, pesan, produk baru yang direncanakan akan diluncurkan.

Kuncinya adalah menemukan dan mengekspresikan jenama Anda, kemudian melihat lebih dalam lagi. Karena menemukan jiwa jenama bukan hanya soal logo, slogan atau nilai-nilai. Pastikan Anda jujur ketika bercerita tentang kisah di balik jenama Anda karena kisah nyata dan jujur akan selalu digemari. Ciptakan juga tempat di mana seseorang bisa membangun hubungan yang hangat dengan jenama. Hal ini mampu membangkitkan kemungkinan berkembangnya suatu komunitas.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Jadi, apabila Anda sedang berada dalam tahap awal membangun perusahaan, ingat selalu untuk membangun jenama yang berjiwa. Kemungkinannya adalah apabila Anda berhasil melakukannya, konsumen Anda akan bertahan untuk waktu yang sangat lama. Perlu diingat, Harley-Davidson mampu bertahan melewati dua Perang Dunia, masa krisis ekonomi The Great Depression tahun 1929 dan krisis keuangan global tahun 2007.

Tentukan nilai-nilai jenama Anda dan jangan pernah mengubahnya. Jenama dapat berkembang seiring dengan waktu, tetapi nilai-nilai tidak boleh berubah. Kekuatan pendorong utama di balik jenama bisnis, perilaku, dan keputusan Anda adalah nilai-nilai inti Anda; kebenaran dan prinsip yang tidak kenal kompromi ini mendefinisikan siapa Anda. Hal ini menjadi panduan dalam membuat pilihan dan memengaruhi setiap keputusan. Orang membeli  jenama yang selaras dengan mereka dan nilai-nilai mereka karena kredibilitas dan rasa percaya. #branding #brand #management #manajemen #strategibranding

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait