Ini adalah kisah Sunny Kamengmau, pria kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dahulu menjadi tukang kebun. Kini, Sunny telah berhasil mengukir kisah inspiratif pengusaha lewat brand tas bernama Robita. Sunny hanya lulusan SMP. Namun bisnis tas kerajinan tangan yang ia mulai bersama rekannya, Nobuyuki Kakizaki berhasil menembus pasar Jepang.
Pertemuan Tak Terduga
Cerita bermula saat Sunny pindah ke Bali. Saat itu, usianya delapan belas tahun. Untuk bertahan hidup di Bali, Sunny bekerja serabutan. Dia bekerja sebagai pencuci mobil, pekerja konstruksi dan memiliki pekerjaan tetap di Hotel Un’s di Legian, Bali. Setahun sebagai tukang kebun di Un’s Hotel, Sunny kemudian bekerja sebagai satpam.
Mengutip https://newsmaker.tribunnews.com, Sunny Kamengmau dikenal sangat rendah hati. Dia biasa menyapa tamu hotel. Begitulah cara dia belajar bahasa asing. Kisah inspiratif pengusaha ini mulai terbentuk ketika ia bertemu dengan seorang turis Jepang, Nobuyuki Kakizaki. Dengan bahasa Jepang seadanya, Sunny berteman dengan Nobuyuki, pengusaha dan pemilik Real Point Inc dari Jepang.
Dari persahabatan ini, Sunny dan Nobuyuki menjalin hubungan bisnis. Nobuyuki mulai membeli kerajinan lokal dan menjualnya kembali di Jepang. Keduanya kemudian melihat prospek bisnis baru. Sunny dan Nobuyuki juga telah menciptakan merek tas dengan nama Robita. Keduanya optimistis akan sukses karena orang Jepang lebih memilih tas buatan tangan daripada tas pabrik.
Pasang Surut dan Dinamika Perjalanan Bisnis Robita
Pesanan pertama tas Robota hanya belasan buah. Pendapatan bulanan juga genting. Tapi Sunny tidak menyerah. Dia dan Nobuyuki terus berusaha membesarkan Robita. Hingga tahun 2007, perusahaan ini berkembang pesat. Tas Robita bahkan diproduksi 5.000 lembar per bulan. Dan pada tahun 2009, jumlah karyawan mencapai 300 orang.
Dari segi penjualan, penjualan Tas Robita sangat tinggi. Tercatat, dari tahun 2006 hingga 2012, rata-rata penjualan Tas Robita di Jepang mencapai 25-30 miliar Rupiah per tahun. Kualitas selalu menjadi fokus utama Sunny, dan hal ini menjadi salah satu kekuatan dalam kisah inspiratif pengusaha lokal yang mampu menembus pasar Jepang dengan produk handmade dari Indonesia.
Baca juga: Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Nurul Atik, pendiri Rocket Chicken
Satu tas harganya antara 4-5 juta Rupiah untuk tas berukuran besar. Selain itu, ada kisaran harga 2-3 juta rupiah untuk tas kecil ini terbukti mampu bersaing di pasar Jepang selama ini.
Namun perjalanan bisnis ini tidak selalu berada di atas. Robita sempat mengalami penurunan. Jumlah pengrajin lokal berkurang, sehingga target produksi tak lagi tercapai. Produksi bulanan turun menjadi sekitar 3.500 tas. Meski begitu, mental bisnis Sunny sudah terasah. Ia tetap bertahan dan berkomitmen menjaga eksistensi Robita. Kisah inspiratif pengusaha ini berlanjut ketika Sunny mulai fokus mengembangkan pasar Indonesia.
Bagaimanapun, tas Robita masih sangat populer di Jepang. Beberapa butik di Bali memang menjual produk ini, namun pasar domestik masih terbatas. Di sinilah tantangan dan peluang baru itu dimulai.
Sukses Tanpa Gelar

Kisah Sunny Kamengmau membuktikan bahwa mobilitas sosial dan ekonomi bisa tercapai meski tanpa latar belakang pendidikan tinggi. Hanya dengan bekal ijazah SMP dan pengalaman sebagai tukang kebun, Sunny berhasil menjadi eksportir produk kreatif ke salah satu pasar paling ketat di dunia: Jepang. Ceritanya menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang menghargai inisiatif individu, pengalaman, kerja keras, dan jaringan bisa menjadi pengganti—bahkan mengungguli—gelar formal.
Di Indonesia, di mana gelar akademik masih sering diagungkan, kisah pengusaha sukses Sunny menjadi pengingat bahwa inklusi ekonomi harus terbuka bagi siapa pun yang punya semangat dan etos kerja kuat, bukan hanya mereka yang mengenyam pendidikan elit. Ini bukan berarti gelar akademis tidak penting. Untuk profesi tertentu seperti dokter dan pengacara, gelar mutlak diperlukan. Namun secara umum, gelar bukanlah segalanya.
Modal Sosial sebagai Titik Awal
Sunny tidak sekadar membangun merek, tetapi juga mengumpulkan modal sosial. Modal awalnya bukan uang, melainkan kemampuan membangun hubungan. Kebiasaannya menyapa tamu hotel justru membuka pintu ketika ia bertemu Nobuyuki Kakizaki—pertemuan yang akhirnya melahirkan kerja sama bisnis strategis. Keterampilan interpersonal, bahkan hal sederhana seperti sapaan tulus, bisa menjadi pembeda dalam membangun jaringan
Kolaborasi dengan Nobuyuki Kakizaki tidak hanya memberi Sunny akses ke pasar Jepang, tetapi juga pemahaman mendalam tentang karakter konsumennya: apresiasi terhadap kerajinan tangan, kualitas tinggi, dan estetika detail. Sunny dan timnya lantas menyesuaikan desain dan mutu produk sesuai ekspektasi pasar Jepang—sebuah strategi yang masih sering diabaikan pelaku bisnis lokal, terutama yang ingin menembus ekspor.
Cerita ini menjadi salah satu kisah inspiratif pengusaha yang menunjukkan bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh modal finansial, tapi juga oleh kemampuan menjalin relasi lintas budaya dan memahami kebutuhan pasar global.
Baca juga: Kisah Pengusaha Sukses Uni Tutie: Dari Dapur Rumahan ke Pasar Global
Pelajaran dari Jatuh Bangunnya Robita

Sunny menghadapi tantangan besar ketika jumlah pengrajin lokal menurun, menyebabkan produksi tas turun dari 5.000 menjadi 3.500 per bulan. Ini adalah masalah yang jamak dijumpai dalam industri kerajinan berbasis komunitas: ketergantungan pada tenaga kerja terampil yang tidak sebanding dengan pertumbuhan permintaan.
Risiko lain yang dihadapi adalah lambatnya regenerasi pengrajin, ketergantungan yang terlalu tinggi pada satu sentral produksi, dan rantai pasok yang kurang fleksibel. Meski demikian, Sunny berhasil bertahan berkat ketangguhannya sebagai seorang pengusaha. Mental “pantang menyerah” sering kali luput dari teori bisnis, namun justru menjadi inti dari banyak kisah inspiratif pengusaha yang mampu bertahan di tengah tekanan.
Pencapaian Robita di Jepang, dengan penjualan tahunan 25–30 miliar Rupiah (sekitar 2 juta Dollar AS) pada 2006–2012, membuktikan bahwa bisnis kerajinan tangan bisa sukses di pasar global. Robita menjadi contoh bagaimana produk budaya lokal bernilai tinggi dapat meraih pasar yang loyal. Kesuksesan ini adalah berkat dari fokus Robita terhadap produk bernilai tinggi (margin besar), bukan sekadar jumlah produksi. Faktor lainnya adalah strategi pemasaran yang menyasar kepada segmen premium di Jepang, bukan bersaing di pasar murah.
Meski sukses di Jepang, Robita masih kurang dikenal di dalam negeri. Penyebabnya boleh jadi adalah harga premium yang mungkin belum sesuai dengan daya beli rata-rata konsumen Indonesia. Pun, kurangnya strategi pemasaran yang membangun ikatan emosional melalui narasi merek.
Sunny berhasil mengangkat ekonomi lokal dengan mempekerjakan hingga 300 orang. Ini membuktikan bahwa ekspor berbasis kerajinan tangan bukan industri kecil, melainkan motor ekonomi yang signifikan jika dijalankan dengan visi dan manajemen yang tepat.
Robita adalah salah satu kisah inspiratif pengusaha lokal yang menunjukkan bahwa bisnis berkelanjutan bisa dimulai dari produk sederhana—asal dibangun dengan nilai dan strategi yang tepat.