Jika Merek Tertimpa Bencana

Jika Merek Tertimpa Bencana

Jika Merek Tertimpa Bencana. Saat ini, reputasi merek bisa terjun bebas dalam sekejap. Padahal, membangun reputasi memerlukan wwaktu bertahun-tahun. Kerap terjadi peristiwa atau serangkaian peristiwa dahsyat yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada citra sebuah merek, yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan, penjualan, atau nilai pasar merek tersebut. Inilah yang disebut bencana merek (brand disaster). Seperti bencana lainnya, bencana merek menimbulkan kerusakan dan penderitaan bagi merek. Untuk pulih, dibutuhkan upaya dan biaya yang tidak sedikit.

Mengapa Merek Bisa ditimpa Bencana?

Bencana terhadap merek dapat disebahkan berbagai faktor. Di antaranya adalah kegagalan produk (product failure) Kegagalan produk dapat menimbulkan reaksi keras yang meluas, terutama jika kegagalan tersebut mengakibatkan bahaya atau risiko keselamatan bagi konsumen. Contoh yang terkenal dari penarikan kembali Galaxy Note 7 Samsung pada tahun 2016 menggambarkan hal ini. Setelah beberapa laporan tentang perangkat yang terbakar, Samsung terpaksa menarik lebih dari dua juta ponsel. Kerugian finansialnya sangat mengejutkan, tetapi kerusakan jangka panjang pada reputasi Samsung adalah bencana yang sebenarnya. Konsumen mulai mengaitkan merek tersebut dengan risiko keselamatan, dan para pesaing memanfaatkan peluang ini.

Ketidakpekaan terhadap budaya (cultural insensitivity) tertentu kerap mengakibatkan merek terperosok ke jurang bencana. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari stereotipe melalui iklan, pemilihan kata, atau visual yang menggeneralisasi suatu budaya dengan cara yang tidak akurat atau menghina; menggunakan simbol atau tradisi budaya dengan cara yang tidak pantas; salah menggunakan bahasa asing atau lokal yang tidak sesuai konteks sehingga mengurangi kredibilitas dan bahkan menimbulkan kesalahpahaman; dan gagal mempertimbangkan nilai-nilai inti dari budaya setempat.

Baca :   Halo Effect : Cara Meningkatkan Branding Karyawan

Contohnya adalah H&M. Pada 2018, H&M mengeluarkan iklan yang menampilkan seorang anak laki-laki kulit hitam mengenakan hoodie bertuliskan “Coolest Monkey in the Jungle”. Ini memicu kecaman luas karena kata “monkey” memiliki sejarah panjang sebagai istilah rasis yang digunakan untuk merendahkan orang kulit hitam. Akibatnya, H&M menghadapi boikot besar-besaran, khususnya di Afrika dan Amerika Serikat, serta kehilangan banyak dukungan dari konsumen dan selebriti yang sebelumnya bekerja sama dengan mereka.

Kegagalan mengelola krisis, bahkan untuk masalah yang sebenarnya tidak terlalu besar, bakal menimbulkan bencana. Tatkala BP mengalami insiden tumpahan minyak yang mencemari lingkungan, alih-alih menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan empati terhadap orang-orang yang terdampak, CEO BP saat itu, Tony Hayward, justru berkata, “Saya ingin hidup saya kembali.” Komentar tersebut dikritik secara luas karena dianggap tidak relevan, dan semakin mencoreng citra BP.

Baca :   Strategi Revitalisasi Merek di Era Digital

Skandal artinya perbuatan yang memalukan atau perbuatan yang menurunkan martabat seseorang. Jelaslah skandal menimbulkan bencana bagi merek. Kegagalan Uber, sang pelopor taksi daring, menangani terungkapnya perbuatan tercela mengakibatkan masyarakat berang terhadap CEO Travis Kalanick. Kalanick akhirnya mengundurkan diri. Namun Uber belum sepenuhnya pulih dari skandal tersebut.

Kemudahan akses serta penggunaan media sosial membuat potensi bencana merek makin besar. Berita yang menyebar supercepat bisa membuat masalah kecil menjadi besar. Media sosial layaknya bensin yang disiramkan ke atas api kecil. Selain itu, media sosial memberi konsumen platform langsung untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka, sehingga sulit bagi merek untuk mengendalikan narasi. Contohnya insiden yang dialami United Airlines pada 2017. di mana seorang penumpang dipaksa keluar dari penerbangan yang kelebihan penumpang. Rekaman video insiden tersebut menjadi viral di media sosial, memicu kemarahan dan seruan untuk boikot. Tanggapan awal United Airlines dianggap meremehkan, yang semakin memperparah krisis. Insiden ini menyebabkan maskapai kehilangan nilai saham jutaan dolar dan merusak reputasinya. Sifat viral media sosial juga mempersulit merek untuk pulih dari bencana. Setelah bencana merek terjadi dan menyebar secara daring, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan konsumen. Ungkapan “jejak digital itu kejam” berlaku di sini.

Baca :   Keberlanjutan Industri Kelapa Sawit di Indonesia: Tantangan dan Inovasi

Masih Adakah Harapan?

Pulih dari bencana merek memang sulit, tapi bukannya tak mungkin. Pertama-tama, perusahaan harus mau mengakui kesalahannya, bertindak cepat, dan bertanggung jawab. Susunkah kata-kata permintaan maaf yang tulus dan menyentuh. Hal ini sebagai langkah awal memulihkan kepercayaan. Inilah yang gagal dilakukan BP pada 2010.

Dalam menangani bencana, jangan sekali-kali kehilangan empati. Merek perlu menunjukkan bahwa mereka memahami dampak bencana terhadap pelanggan, karyawan, dan masyarakat luas. Konsumen mengharapkan perusahaan tidak hanya mengakui kesalahan mereka tetapi juga meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang bertanggung jawab.

Seperti halnya bencana alam, pulih dari bencana merek membutuhkan waktu. Apalagi jika skala kerusakannya masif. Konsumen ingin melihat komitmen jangka panjang perusahaan. Pemulihan merek diperkuat oleh komunikasi yang konsisten dan transparan. Merek harus secara teratur memberi tahu konsumen tentang tindakan yang sedang diambil dan kemajuan yang telah dicapai. Transparansi menumbuhkan kepercayaan dan membantu memperbaiki hubungan yang rusak.

Kategori: Marketing & Branding

#brand disaster

#product failure

#cultural insensitivity

#krisis

#skandal

#media sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait