Jangan Remehkan Employee Disengagement

Jangan Remehkan Employee Disengagement

Jangan Remehkan Employee Disengagement. Karyawan makin berjarak dengan organisasi tempat mereka bekerja. Jarak di sini bukan dalam artian fisik, melainkan emosional. Mereka tidak bangga menjadi bagian dari Perusahaan. Alasannya? Ekspektasi yang kurang jelas, rendahnya tingkat kepuasan terhadap organisasi, dan kurangnya keterikatan karyawan dengan misi dan tujuan Perusahaan. Demikian hasil survei yang dikeluarkan oleh Gallup tahun lalu. Dengan kata lain, karyawan makin merasa disengaged (employee disengagement).

Employee disengagement berarti kurangnya komitmen emosional dan antusiasme yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. Karyawan yang disengaged sering menunjukkan minat yang minimal terhadap tugas mereka, tidak melakukan lebih dari yang dipersyaratkan terhadap pekerjaan, serta menunjukkan perilaku yang berdampak negatif di tempat kerja, seperti penurunan produktivitas, kehadiran yang buruk, dan kurangnya kolaborasi dengan rekan kerja.

Karyawan yang disengaged memiliki ciri-ciri tidak termotivasi untuk melakukan yang terbaik dan menunjukkan sedikit minat dalam mencapai tujuan perusahaan; hanya memenuhi persyaratan minimum pekerjaan mereka dan seringkali menghasilkan pekerjaan di bawah standar; jarang mengambil inisiatif untuk memperbaiki proses, menyarankan ide-ide baru, atau mengambil tanggung jawab tambahan; pesimistis terhadap pekerjaan, rekan kerja, dan organisasi; sering kali mengungkapkan ketidakpuasan; tingkat ketidakhadiran yang lebih tinggi dan kemungkinan yang lebih besar untuk meninggalkan perusahaan; sering menghindari kerja tim dan kolaborasi, lebih memilih bekerja sendiri-sendiri jika memungkinkan.

Baca :   Peran Digital Badge dalam Meningkatkan Kredibilitas Keterampilan Kandidat

Faktor Penyebab Employee disengagement

Banyak faktor penyebab timbulnya Employee disengagement. Faktor-faktor tersebut sering kali terkait dengan budaya organisasi, praktik manajemen, dan pengalaman individu. Penyebab yang jamak dijumpai adalah buruknya manajemen dan kepemimpinan; kurangnya peluang pertumbuhan dan pengembangan karier; kompensasi dan benefit yang dirasakan tidak memuaskan; lingkungan kerja yang beracun; kurangnya work life balance, kurangnya keamanan kerja, ditandai restrukturisasi yang seolah tiada henti dan pengurangan karyawan; ketidaksesuaian antara nilai-nilai pribadi dengan nilai-nilai perusahaan; kurangnya otonomi, tidak disediakan sumber daya yang cukup; serta konflik dengan rekan kerja dan atasan

Salah satu contoh nyata employee disengagement adalah apa yang terjadi di Wells Fargo yang terungkap sekitar tahun 2016. Kasus ini menunjukkan bagaimana budaya beracun dalam bentuk praktik tidak etis, strategi penjualan yang membebani karyawan, dan lingkungan kerja beracun dapat meruntuhkan moral dan komitmen karyawan. Wells Fargo, salah satu bank terbesar di Amerika Serikat, terlibat dalam skandal dalam bentuk pembukaan jutaan rekenng tanpa izin demi memenuhi target penjualan. Praktik ini didorong oleh budaya perusahaan yang intens, berfokus pada penjualan silang dan mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai. Banyak karyawan di Wells Fargo merasakan tekanan yang sangat besar untuk memenuhi kuota penjualan yang tidak realistis. Lingkungan tersebut digambarkan sebagai lingkungan yang bersifat menghukum. Karyawan takut akan nasib mereka jika gagal memenuhi target. Akibatnya, muncul rasa tidak puas, yang kemudian makin meluas. Praktik tidak etis ini juga menunjukkan berseberangannya nilai-nilai karyawan dengan tujuan perusahaan.

Baca :   Blending Skill-Based Hiring and Microcredentials: Faster Recruitment for Better Results
Jangan Remehkan Employee Disengagement
Jangan Remehkan Employee Disengagement

Karyawan Wells Fargo kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan mereka. Laporan menunjukkan bahwa karyawan merasa kekhawatiran mereka diabaikan. Petinggi perusahaan lebih peduli pada keuntungan finansial dibandingkan kesejahteraan karyawan.

Akibat skandal ini, Wells Fargo harus membayar denda sebesar lebih dari 185 juta Dollar AS kepada berbagai badan regulator. Skandal ini juga merusak reputasi Wells Fargo. Kepercayaan nasabah runtuh. Harga sahamnya terjun bebas. CEO kala itu, John Stumpf, terpaksa mengundurkan diri. Para eksekutif Perusahaan juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Akibat skandal ini, Wells Fargo harus menerapkan perubahan besar pada budaya perusahaan dan praktik penjualannya. Hal ini termasuk menghilangkan kuota penjualan untuk karyawan perbankan ritel dan meningkatkan pengawasan dan standar etika.

Kasus Wells Fargo menunjukkan betapa pentingnya pentingnya praktik etis, penetapan tujuan yang realistis, dan lingkungan kerja yang mendukung. Disengagement karyawan dapat berasal dari nilai-nilai yang tidak selaras, tekanan yang berlebihan, dan kurangnya kepercayaan terhadap kepemimpinan, yang semuanya terlihat jelas di Wells Fargo. Perusahaan harus menumbuhkan budaya yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan dan perilaku etis untuk mempertahankan engagement.

Seperti Penyakit Menular

Employee Disengagement, seperti dikemukakan McCarthy di Harvard, adalah layaknya penyakit menular. Yang tadinya sehat, jadi ikut sakit. Disengagement dapat menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpuasan, mendevotivasi karyawan, menurunkan produktivitasa, membuat Perusahaan rentanterhadap praktik tercela, dan merusak nama baik.

Baca :   Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Bagaimana mengatassinya? Pertama, menjelaskan dengan gamblang visi, misi, dan tujuan organisasi kepada karyawan. Termasuk bagaimana pekerjaan ikut andil dalam kemajuan Perusahaan.

Berikutnya, membuka kesempatan untuk belajar secara kontinu. Bantu pula karyawan dalam mewujudkan keinginan terkait karier dan tujuan pengembangan profesional. Bila memungkinkan, peluang karier dibuka lebih lebar bagi mereka yang menginginkannya.

Jangan pernah abaikan apresiasi terhadap kerja keras dan pencapaian karyawan. Meski klise, nyatanya masih banyak yang tidak memedulikannya. Lebih baik lagi jika apresiasi tersebut disesuaikan dengan preferensi individu, memastikan bahwa pengakuan tersebut terasa tulus dan bermakna.

Bangunlah budaya yang positif dalam organisasi, ditandai dengan dijunjung tingginya etika, rasa saling percaya, hubungan baik antarkaryawan, dan hal-hal baik lainnya. Apa yang terjadi di Wells Fargo, seperti kisah di atas, jangan sampai berulang.

Jangan Remehkan Employee Disengagement

Kategori: Organization Development and Behavior

#employeedisenagement

#gallup

#wellsfargo

#komitmen

#budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait