Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis. Istilah glass cliff atau “tebing kaca” makin sering didiskusikan di dunia kerja. Glass cliff adalah kondisi saat perempuan atau seseorang dari kelompok moniritas dipilih untuk berada di tampuk kepemimpinan tatkala organisasi sedamg mengalami krisis atau situasi yang berbahaya. Sekilas, kondisi ini memang terdengar ideal. Bagaimana tidak? Kelompok yang selama ini dipandang terpinggirkan mendapat kesempatan menduduki jabatan tinggi. Ini menunjukkan organisasi menghargai kesetaraan. Meski demikian, ini bisa menjadi perangkap bagi orang yang diserahi jabatan tersebut.
Pengertian Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis
Glass cliff adalah istilah yang sebenarnya relatif baru, diperkenalkan pada 2005 oleh Michelle Ryan dan Alex Haslam. Keduanya berasal dari University of Exeter. Berdasarkan penelitian mereka,banyak perusahaanyang kinerjanya sedang melemah menunjuk perempuan menjadi pemimpin. Situasi ini menyulitkan. Mengapa? Memimpin organisasi yang sedang bermasalah tentu lebih berat dibandingkan dengan memimpin perusahaan yang sedang bagus kinerjanya.
Untuk perusahaan yang sedang bagus, kepemimpinan tetap dipegang laki-laki. Kondisi ini ternyata bukan hanya dialami kaum perempuan. Kelompok minoritas lainnya juga mengalaminya. Sebuah analisis tahun 2014 terhadap kepemimpinan Fortune 500 AS menemukan bahwa firma dengan kinerja yang buruk cenderung mempromosikan perempuan ke posisi CEO daripada pria kulit putih.
Contoh nyata fenonema glass cliff ini adalah Marissa Mayer yang diangkat sebagai CEO Yahoo. Ia diangkat setelah Yahoo kehilangan pangsa pasar yang signifikan terhadap Google pada 2012. Contoh lainnya adalah Linda Yaccarino yang diangkat sebagai CEO Twitter (kini X). Ia diangkat saat perusahaan tersebut menghadapi masa depan yang tidak menentu dan sejumlah tantangan, termasuk pemadaman listrik, ketidakpuasan pengguna, dan skeptisisme pengiklan. Perusahaan tersebut kehilangan lebih dari setengah nilainya sejak diakuisisi oleh Elon Musk enam bulan sebelumnya.
Mengapa Glass cliff terjadi? Hal ini salah satunya karena persepsi bahwa perempuan dan kaum minoritas memiliki pendekatan yang tidak sama dalam mengatasi krisis bila dibandingkan laki-laki dan kelompok mayoritas. Persepsi ini tentu bisa salah, namun bisa juga benar. Yang sering dilupakan adalah ekspektasi dan dukungan. Organisasi sering memiliki ekspektassi yang berlebihan. Padahal, mengatasi krisis kerap membutuhkan waktu. Selain itu, organisasi kerap tidak menberikan dukungan sumber daya yang cukup. Jika kondisinya demikian, siapa pun yang memimpin akan sulit mengatasi krisis.
Berikutnya, banyak organisasi yang dilanda krisis bersikap nothing to lose. Sukses atau gagal, tidak ada bedanya. Dengan demikian, mereka lebih berani mengambil risiko. Ini berbeda dengan organisasi yang sedang berjaya, yang cenderung lebih berhati-hati dengan risiko guna menghindari penurunan. Maka, bagi mereka, tidak ada salahnya menunjuk perempuan dan kaum minoritas. Bila gagal, toh mereka tidak rugi.
Mengangkat kelompok minoritas untuk memimpin organisasi yang sedang dilanda krisis juga kerap dianggap sebagai gimik semata. Organisasi seolah-olah ingin menunjukkan komitmenya memberikan peluang bagi semua. Namun, peluang kesuksesan orang yang ditunjuk luput dati pertimbangan. Kondisi semacam ini tentu tidak baik bagi organisasi.
Sebenarnya, masih ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya glass cliff ini. Dari sisi perusahaan, jika krisis bisa diatasi, perusahaan akan lebih baik. Namun jika gagal, paling tidak perusahaan dihargai karena berupaya mewujudkan kesetaraan (terlepas tulus atau tidak). Alasan lainnya adalah karena perempuan dianggap lebih mengayomi, kreatif, dan intuitif. Dan masih ada alasan-alasan lainnya yang memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Merugikan Orang yang Ditunjuk
Marilah kita lebih berfokus pada dampak glass cliff. Yang utama adalah merugikan orang yang ditunjuk jika gagal mengatasi krisis. Reputasi dan prospek kariernya tercoreng. Padahal, belum tentu perempuan atau minoitas pemimpin itu yang salah. Boleh jadi, penyebabnya adalah faktor eksternal. Kegagalan ini juga memperburuk stereotip tentang perempuan dan minoritas pemimpin. Padahal, tak sedikit perempuan dan minoritas pemimpin yang mampu membawa organisasi keluar dari krisis.
Bukan hanya individu, organisasi turut terdampak. Penunjukan orang-orang tertentu dengan tidak mempertimbangkan kompetensi memberi kesan perusahaan tidak serius mengatasi masalah. Seyogianya, perusahaan menunjuk orang-orang yang memang kompeten, apa pun latar belakangnya, tanpa terjebak dalam stereotipe.
Glass cliff akan dapat diatasi bila terdapat upaya bersama dari individu, organisasi, dan masyarakat. Pertama-tama, semua harus paham seluk belum glass cliff. Ini sebagai langkah awal membentuk lingkungan kerja yang adil.
Berikutnya, jika memang perempuan atau kaum minoritas dipercaya memimpin organisasi keluar dari krisis, mereka harus diberikan sumber daya yang cukup. Termasuk juga pelatihan, mentorship, dan sponsorship jika dibutuhkan.
Paling penting, organisasi hanya boleh mengangkat seseorang penjadi pemimpin jika memang dia kompeten, apa pun jenis kelamin dan latar belakangnya. Oleh karennya, sejak awal perlu dibuat program pengembangan pemimpin secara adil dan transparan.
Dari sisi perempuan dan kaum minoritas sendiri, apa yang harus dilakukan untuk mencegah talent cliff? Semuanya dimulai dari sebelum menerima tawaran menjadi pemimpin. Perempuan dan minoritas harus memahami kondisi organisasi. Juga, tantangan dari diri sendiri. Carilah dukungan dari rekan, mentor, atau pemimpin lainnya. Dengan jejaring yang luas, tantangan dapat dihadapi dengan lebih ringan. Tetaplah bertahan pada tujuan karier Anda dalam jangka panjang. Jangan korbankan nilai-nilai yang Anda anut. Dengan demikian, motivasi anda tetap terjaga.
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis
Kategori: Human Capital & Talent Management
#glass cliff #perempuan #minoritas #Michelle Ryan #Alex Haslam #Marissa Mayer #Linda Yaccarino #stereotipe #persepsi #risiko #gimik
Related Posts:
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis
Bridging the Generation Gap in the Face of the Talent Cliff
Talent Drain: When Stars Leave
Inspiring Stories of Local Entrepreneurs: Hamzah Sulaiman: The Visionary Behind Raminten’s Uniqueness
Non-linear Career Development: An Alternative