bisnis keluarga

Fenomena Bisnis Keluarga: Ketika Karyawan Lebih Disayang daripada Keluarga Sendiri

Dalam bisnis keluarga, seringkali muncul fenomena halus yang dampaknya justru sangat dalam: sang pemilik justru lebih mempercayai, memperhatikan, dan menyayangi karyawan profesional daripada anggota keluarganya sendiri. Hal ini bisa terasa mengejutkan, terutama bagi generasi penerus yang mengira ikatan darah akan secara otomatis memberi mereka tempat utama.

Lantas, mengapa ini terjadi? Apa dampaknya bagi masa depan bisnis keluarga? Dan bagaimana cara keluarga pemilik bisnis menciptakan keseimbangan?

Mengurai Fenomena “Karyawan Lebih Disayang” dalam Bisnis Keluarga

Banyak pendiri bisnis keluarga merasa lebih nyaman berurusan dengan karyawan loyal daripada dengan anak atau saudara kandungnya. Alasannya? Paling utama adalah dedikasi dan komitmen. Banyak karyawan profesional sering rela bekerja lembur, mengorbankan akhir pekan, dan mengutamakan tugas. Sementara, anggota keluarga terkadang dianggap kurang disiplin dan enteng saja mengutamakan urusan pribadinya.

Alasan lainnya adalah karyawan lebih patuh pada aturan dan instruksi. Ini tetap mereka lakukan meski tidak sependapat. Berbeda halnya dengan anak atau saudara kandung, yang adakalanya berani menolak perintah bahkan mengkritik pemilik.

Tak jarang, karyawan menganggap perusahaan seperti rumah kedua. Mereka menjaga aset dan reputasi bisnis keluarga dengan sungguh-sungguh. Di sisi lain, beberapa anggota keluarga justru terlihat lebih fokus pada kepentingan pribadinya.

Karyawan juga cenderung memiliki mentalitas “nothing to lose.” Karyawan sadar posisinya tergantung pada kinerja. Mereka tidak punya jaminan akan dipertahankan jika tidak berkontribusi. Sementara, anggota keluarga sering merasa punya ‘hak waris’ yang membuatnya bersikap lebih santai atau bahkan menuntut hak istimewa.

Baca :   Legacy Building: Apa yang Harus Ditinggalkan Perintis Kepada Generasi Penerus?

Apakah Pemilik Bisnis Keluarga tidak Menyukai Calon Penerus?

bisnis keluarga

Bagi pendiri atau pemilik bisnis keluarga, memprioritaskan karyawan bukan sekadar urusan suka atau tidak suka, tetapi sering kali merupakan keputusan rasional. Bagi pemilik, kelanjutan bisnis menjadi hal utama. Yang paling berhak diapresiasi adalah yang paling berkontribusi bagi kemajuan bisnis, terlepas dia adalah anggota keluarga atau bukan.

Hubungan dengan profesional nonkeluarga juga lebih sederhana. Artinya, relasi dengan karyawan sifatnya murni berdasarkan profesionalitas. Dibatasi oleh kontrak, target, dan evaluasi. Sebaliknya, hubungan dengan keluarga jauh lebih rumit karena dibebani urusan rumah tangga, egoisme, dan persoalan warisan.

Adakalanya dijumpai pemilik bisnis keluarga yang kecewa dengan anak-anaknya. Ini karena anak-anak tidak menunjukkan dedikasi dan komitmen yang semerstinya terhadap bisnis. Tak heran bila pemilik berpaling kepada profesional nonkeluarga.

Dampak pada Anggota Keluarga dan Profesional

Jika pendiri benar-benar ingin agar anak-anaknya kelak meneruskan bisnis, kecenderungan lebih menyayangi profesional tak boleh diremehkan. Situasi ini dapat meninggalkan luka emosional yang dalam bagi generasi penerus. Usaha dan ide mereka tidak dianggap, sementara kontribusi karyawan dihargai berlebihan.

Baca :   Dilema Transparansi dalam Bisnis Keluarga

Selanjutnya, bisa timbul kecemburuan  karena karyawan mendapat kepercayaan dan perlakuan yang lebih istimewa. Anak-anak menjadi tidak bersemangat untuk melanjutkan bisnis keluarga karena merasa diperlakukan tidak adil. Tak hanya itu, karena kurang diberi kesempatan, karyawan menjadi kurang kompetensinya. Bagaimana nasib perusahaan jika kelak dipimpin oleh orang yang tidak kompeten?

Bagi profesional, disayang pemilik tentu menyenangkan. Mereka mendapatkan kepercayaan, peluang berkembang, dan hubungan yang lebih personal. Namun di balik itu, menjadi kesayangan pendiri justru menjadi beban. Para profesional ini rentan terseret dalam konflik keluarga. Loyalitas mereka diuji: harus memihak sang pendiri atau calon penerusnya? Tidak jarang, karyawan yang terlalu dekat dengan pendiri justru menjadi korban ketika terjadi pergantian kekuasaan.

Mencari Jalan Tengah: Menyeimbangkan Hubungan

bisnis keluarga

Lalu, bagaimana mengelola dinamika ini dengan sehat?

  1. Anggota keluarga yang ingin bergabung dengan bisnis keluarga harus bisa membuktikan kompetensinya, bukan hanya mengandalkan namabesar orangtua atau pendiri. Sebaliknya, apresiasi pada profesional nonkeluarga tidak boleh mengabaikan peran keluarga.
  2. Buatlah aturan main yang transparan. Rumuskan secara tertulis kriteria orang-orang yang dapat bekerja dalam perusahaan, jalur karier, dan mekanisme evaluasi untuk semua, baik keluarga maupun nonkeluarga.
  3. Bentuklah forum keluarga atau sejenisnya. Sebuah Family Council dapat menjadi wadah bagi semua anggota keluarga untuk menyampaikan aspirasi dan terlibat perumusan dan pencapaian dalam visi tanpa campur tangan dalam operasi harian.
  4. Hargai kontribusi, bukan status. Beri apresiasi setara berdasarkan kontribusi nyata. Karyawan dihargai atas kerja kerasnya, generasi penerus didukung untuk berkembang dan membuktikan diri.
  5. Kelola suksesi dengan hati-hati. Pada masa transisi, libatkan generasi penerus dalam pengambilan keputusan penting. Hargai karyawan kunci, namun pastikan posisi dan otoritas keluarga sebagai pemilik tetap jelas.
Baca :   Mewarisi atau Mandiri? Pilihan Sulit Anak Pemilik Bisnis Keluarga

Bisnis keluarga adalah sebuah paradoks. Terkadang, keringat dan loyalitas seorang karyawan terasa lebih nyata daripada ikatan darah. Fenomena ini seharusnya bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat untuk menciptakan keseimbangan.

Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan menggabungkan profesionalitas dari karyawan nonkeluarga dengan keterlibatan dan visi jangka panjang dari keluarga. Dengan menghargai keduanya secara adil, bisnis keluarga tidak hanya akan bertahan, tetapi juga tumbuh kuat, mewariskan nilai-nilai dan keberlanjutan untuk generasi-generasi selanjutnya.

#bisnis keluarga          #Dinamika bisnis keluarga     #Loyalitas karyawan               #Karyawan vs keluarga                        #Suksesi                      #konflik keluarga bisnis          #Kekecewaan pendiri             #luka emosional                    #Kecemburuan                        #Rasa tidak dihargai               #tata kelola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait