Di Balik Topeng Persaingan: Membedah Strategi Pemasaran Negatif. Dalam dunia pemasaran yang dinamik, berbagai cara dilakukan perusahaan untuk menggaet pelanggan. Tak ketinggalan cara kontroversial. Lazimnya, perusahan berfokus pada atribut positif produk atau layanannya. Namun, tak jarang perusahaan mengeksploitasi kelemahan pesaing atau bahkan produk itu sendiri untuk menciptakan narasi yang menarik. Inilah yang disebut pemasaran negatf (negative marketing).
Pemasaran Negatif. banyak caranya. Paling sering dilakukan adalah membanding-bandingkan merek perusahaan dengan merek pesaing seraya menonjolkan kekurangannya. Strategi semacam ini jamak dilakukan untuk produk atau layanan serupa, yang keunggulannya ditentukan oleh diferensiasi. Kampanye “Get a Mac” yang dijalankan Apple adalah salah satu contohnya. Dalam iklan-iklan tersebut, Apple membandingkan Mac dengan PC (yang diidentikkan dengan produk Microsoft) dengan menunjukkan bahwa Mac lebih mudah digunakan, lebih sedikit mengalami masalah teknis, dan lebih cocok untuk kreativitas dibandingkan dengan PC. Contoh populer lainnya adalah Burger King. Burger King punya sejarah menggunakan pemasaran negatif untuk menargetkan McDonald’s. Salah satu contohnya adalah kampanye “Whopper Detour”, di mana Burger King menawarkan Whopper-nya hanya dengan harga satu sen jika pelanggan memesannya sambil berdiri dalam jarak 600 kaki dari restoran McDonald’s. Kampanye tersebut juga menyoroti keunggulan Whopper dibandingkan Big Mac milik McDonald’s. Kampanye ini menghasilkan gebrakan besar dan meningkatkan unduhan aplikasi, meningkatkan lalu lintas ke lokasi Burger King sambil secara bercanda meremehkan McDonald’s.
Di Balik Topeng Persaingan: Membedah Strategi Pemasaran Negatif
Cara berikutnya adalah menakut-nakuti. Organisasi menjelaskan dampak buruk jika orang tidak mau melakukan apa yang diinginkan. Ada lagi strategi kambing hitam. Sebuah merek menyalahkan pesaing atau faktor eksternal atas terjadinya sesuatu, untuk kemudian menawarkan produk atau layanannya sebagai solusi. Ini mirip dengan kampanya politik. Oposisi menyalahkan pemerintah atas masalah sosial ekonomi yang terjadi, untuk kemudian menawarkan programnya sebagai solusi. Tujuannya tentu agar masyarakat memilih opisisi saat pemilu.
Humor dan satire ternyata bisa pula digunakan untuk pemasaran negatif. Satire sendiri adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Dapat pula berarti sindiran atau ejekan. Contoh yang terkenal adalah kampanye Wendy’s “Where’s the Beef?” yang secara jenaka mengkritik ukuran kecil roti burger pesaingnya.
Pertimbangkan Manfaat dan Risikonya
Meski kontroversial, Pemasaran Negatif. tetap ada manfaatnya. Pertama untuk diferensiasi. Dalam pasar yang penuh sesak, pemasaran negatif memungkinan sebuah merek untuk lebih populer dengan cara mengekspos kekurangan merek pesaing. Dengan demikian, merek tersebut dapat memosisikan dirinya sebagai merek alternatif yang bisa dipercaya. Manfaat berikutnya adalah memancing emosi. Pesan yang disampaikan bisa membuat orang marah, gembira, khawatir, atau sedih. Jika emosi telah terpancing, konsumen lebih mudah diarahkan perilakunya. Misalnya, iklan yang berisi peringatan tentang bahaya tidak menggunakan produk atau layanan tertentu dapat memaksa pelanggan untuk segera bertindak. Penggunaan humor dan satire dalam pemasaran negatif berpotensi menjadi viral. Konten yang mudah diingat dan dibagikan dapat menyebar dengan cepat di media sosial, memperkuat pesan dan jangkauan merek.
Namun, jangan remehkan risikonya. Reputasi merek perusahaan bisa-bisa menjadi taruhannya. Ini terjadi jika pemasaran negatif dilakukan secara terlalu agresif, kejam, atau tidak sensitif. Hal ini dapat memancing reaksi keras pelanggan. Ini pernah terjadi pada Pepsi pada 2017. Pepsi meluncurkan iklan di mana Kendall Jenner memberikan sekaleng Pepsi kepada seorang polisi dalam sebuah protes, yang kemudian meredakan ketegangan. Iklan ini dikritik keras karena dianggap meremehkan gerakan sosial yang serius seperti Black Lives Matter. Banyak yang merasa bahwa Pepsi menggunakan isu sosial penting untuk kepentingan komersial, yang menyebabkan perusahaan harus menarik iklan tersebut dan meminta maaf.
Pemasaran negatif juga rentan gugatan hukum. Terutama jika klaim yang dibuat salah atau menyesatkan. Perusahaan harus menjamin bahwa strategi pemasaran mereka tidak melanggar hukum atau melampaui batas. Sekali lagi, jangan pernah mengabaikan etika. Pemasaran negatif yang kelewat batas akan menghasilkan lingkungan pasar yang beracun. Ketimbang memperbaiki mutu dan layanan produk, para pemilik merek lebih suka menghabisi lawan-lawannya dengan segala cara.
Pemasaran negatif berisiko mengisolasi konsumen yang lebih menyukai pemasaran positif, di mana perusahaan lebih berfokus untuk menonjolkan keunggulan produknya. Apatah lagi, konsumen makin kritis. Mereka makin mahir membedakan mana praktik pemasaran yang tercela dan tidak tercela. Di samping itu, konsumen lama-kelamaan akan muak jika terus-menerus disuguhi kampanye negatif.
Tidak Tabu, Asal…
Meski kontroversial, pemasaran negatif bukanlah hal tabu selama dilakukan dalam batas-batas yang tidak melanggar etika. Di samping itu, ada sejumlah situasi di mana strategi ini dapat dilakukan. Situasi macam apa sajakah? Pertama, sebagai bagian dari strategi diferensiasi. Kedua, menyanggah informasi yang keliru atau menyesatkan. Ketiga, menantang pakem industri yang sudah mapan. Tatkala sebuah merek ingin menggoyang status quo, pemasaran negatif dapat digunakan untuk mengkritik praktik-praktik yang sudah ketinggalan zaman. Keempat, untuk menyasar pesaing tertentu. Tatkala ada pesaing yang mendominasi pasar, Pemasaran Negatif. yang dijalankan dengan baik dapat membantu mengalihkan perhatian dari mereka dan menuju merek perusahaan.
Kategori: Marketing & Branding
#negativemarketing
#spple
#burgerking
#satire
#kontroversial
Related Posts:
TikTok untuk Rekrutmen: Bisakah Memikat Talenta yang Tepat?
Turnover Contagion: Menyikapi Gelombang Pengunduran Diri yang Mengancam Stabilitas Tim
Pro Kontra Experiential Hiring
Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis