kepemimpinan

Dead Horse Syndrome: Mengenali Waktu Tepat untuk Berubah dalam Kepemimpinan

Pernahkah Anda menemukan seorang pemimpin yang kukuh bertahan dengan strategi, kebijakan, dan tim yang ada padahal semua itu sudah tidak berguna dalam kepemimpinan? Artinya sudah tidak lagi bisa diandalkan untuk kemajuan organisasi. Kondisi inilah yang disebut dengan sindrom kuda mati atau dead horse syndrome.

Menurut kearifan suku Indian Dakota kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi, saat Anda menyadari sedang menunggangi kuda mati, tindakan terbaik yang dapat Anda lakukan adalah turun dari kuda tersebut. Namun, banyak pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang enggan mengakui bahwa strategi, kebijakan, dan tim yang ada sudah buntu, tak lagi bisa diharapkan membawa kemajuan. Alih-alih menyerah, mereka mencoba berbagai cara agar kuda yang sudah mati itu kembali hidup.

Misalnya dengan cara membeli cambuk yang lebih keras, mengganti penunggang, mengancam mem-PHK kuda, menunjuk komite untuk mempelajari kuda, belajar menunggang kuda mati, menurunkan standar agar kuda mati dapat diikutsertakan, menganggap kuda mati sebagai kuda hidup yang cacat, merekrut orang untuk menunggangi kuda mati, mengikat beberapa kuda mati agar bisa berlari lebih kencang, menambah dana dan/atau pelatihan untuk meningkatkan kinerja kuda yang mati, melakukan studi untuk membuktikan apakah penunggang dengan berat badan lebih ringan dapat menunggangi kuda mati, menulis ulang persyaratan kinerja yang diharapkan untuk semua kuda, bahkan mempromosikan kuda yang mati kepada manajemen

Sudah Tahu Tidak Berguna, Mengapa masih Dicoba?

Mengapa upaya-upaya konyol di atas masih dilakukan, padahal tidak mungkin berhasil? Salah satu alasannya adalah: pemimpin telanjur mengeluarkan uang dalam jumlah jumbo. Akibatnya, mereka merasa sayang meninggalkannya. Apalagi banyak pemimpin yang tak mau kehilangan muka alias malu.

Baca :   Etika Bisnis vs Kepentingan Ekonomi: Dilema di Balik Kebijakan FCPA Trump

Mengubah strategi berarti harus melakukan perubahan. Ini membuat pemimpin tidak nyaman. Apalagi jika akibat perubahan tersebut, pemimpin kehilangan pengaruh dan fasilitas yang selama ini ia terima. Bisa juga lantaran adanya tekanan. Misalnya dari atasan, Jika demikian, biasanya dicari-cari alasan agar strategi tetap dipertahankan.

Yang juga kerap terjadi, pemimpin terbuai dengan kesuksesan masa lalu. Tak dimungkiri, strategi, kebijakan, dan tim yang ada sekarang berkontribusi terhadap kejayaan. Namun sekali lagi, itu adalah masa lalu. Zaman sudah berubah. Apa yang membawa kesuksesan di masa lalu, justru menjadi biang kegagalan di  masa kini.

Bahaya Kepemimpinan Sindrom Kuda Mati

Sindrom kuda mati tentu saja membahayakan organisasi. Apa saja bahayanya?

Pertama, menyia-nyiakan sumber daya, yang sudah susah payah didapat. Bukankah tidak mudah mendapatkan uang, karyawan andal, dan teknologi mutakhir? Belum lagi waktu yang terbuang percuma. Sudah begitu, semuanya dikerahkan untuk membiayai  sesuatu yang tidak akan mendongkrak kinerja organisasi.

Kedua, obsesi menghidupkan kuda mati membuat organisasi tak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Padahal, selera konsumen, teknologi, kondisi ekonomi, dan tuntutan terhadap SDM terus berubah. Kegagalan ini membuat organisasi kehilangan daya saing dan tak lagi relevan.

Baca :   Tantangan Nyata Dibalik Kegagalan Pemimpin Menangani Superstar

Ketiga, membuat karyawan frustrasi karena terus-menerus dipaksa menjalankan strategi yang sudah tidak ada gunanya, sementara target dan indikator kinerja tidak berubah. Hal ini membuat mereka stres dan demotivasi.

Keempat, hilangnya kepercayaan dari pihak eksternal seperti investor, pelanggan, dan mitra bisnis. Pelanggan setia akan berpaling lantaran kualitas produk menurun. Investor enggan menanamkan dananya lantaran mempertanyakan prospek perusahaan.

Mencegah Kepemimpinan Sindrom Kuda Mati

Sesukses apapun, segala strategi, kebijakan, dan tim yang ada harus dievalusi. Evaluasi ini dilakukan secara berkala. Pemimpin pun harus pandai membaca tren masa depan, jangan terlena dengan masa kini. Jika ada indikasi strategi, kebijakan, dan tim yang ada tidak lagi cocok dengan tren masa depan, perubahan harus dilakukan.

Salah satu ciri pemimpin yang baik adalah berani mengakui kesalahan, siap mengoreksinya dengan mencari strategi yang lebih sesuai. Memang dalam menyikapi perubahan yang cepat, bersikap fleksibel paling tepat, baik dalam berpikir maupun bertindak.

Sudah bukan zamannya lagi pemimpin merasa diri  paling tahu. Mereka harus mambuka diri terhadap kritik, saran, dan opini. Selama memiliki kualitas kepemimpinan, hal ini tidak mengurangi wibawa mereka sebagai pemimpin.

Seperti disinggung sebelumnya, salah satu alasan pemimpin mempertahankan proyek gagal adalah telanjur mengeluarkan sumber daya yang besar. Namu perlu diingat, gaya kepemimpinan ini memunculkan risiko yang lebih besar bakal menimpa jika yang gagal itu diteruskan. Pemimpin harus lebih fokus pada hasil nyata ketimbang mempertahankan sesuatu hanya karena sudah terlanjur dijalankan.

Baca :   Integritas Pemimpin Ketika Diuji: Pelajaran Berharga dari Kasus eFishery

Belajar dari Sejarah

Dalam sejarah, banyak perusahaan yang terjebak dalam sindrom kuda mati. Salah satu contoh paling populer adalah Nokia. Nokia menjadi produsen ponsel paling berjaya pada tahun 2000-an. Namun, agaknya mereka terlena. Nokia tetap berpegang teguh pada OS Symbian dan strategi yang berfokus pada perangkat keras bahkan ketika ekosistem iOS dan Android berkembang pesat. Perusahaan mengabaikan permintaan konsumen terhadap telepon pintar dengan ekosistem aplikasi yang lebih baik. Lalu? Kita semua tahu nasib Nokia.

Contoh lainnya adalah Blackberry. Pada akhir 2000-an, Blackberry merupakan pemimpin dalam telepon seluler untuk pengguna bisnis tetapi gagal mengenali permintaan yang terus meningkat terhadap telepon pintar layar sentuh. Perusahaan asal Kanada ini terus saja berinvestasi pada perangkat berbasis keyboard fisik dan menolak untuk berubah hingga semuanya terlambat. Tatkala mereka memperkenalkan model layar sentuh yang kompetitif, Apple dan Android telah menguasai pasar.

#sindrom kuda mati                #perubahan                  #sumber daya              #daya saing                 #demotivasi                        #pemimpin                  #Nokia            #Blackberry            #Kepemimpinan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait