digital detox

Digital Detox untuk Pemimpin: Mengurangi Ketergantungan Terhadap Teknologi

Detiksifikasi digital, atau digital detox merupakan kebutuhan yang seringkali diabaikan di era modern. Saat ini, manusia dihantam oleh gelombang notifikasi dan informasi yang tiada habisnya, baik dari surat elektronik, pesan singkat, dan media sosial. Memang, di satu sisi kemajuan teknologi membuat komunikasi lebih mudah, cepat, dan menjadi tanpa batas. Segala aktivitas pun menjadi lebih efektif dan efisien.  Namun di sisi lain, batas kehidupan profesional dan personal nyaris hilang. Akibtanya, banyak orang tertekan, lelah dan letih sehingga pekerjaan tidak optimal.

Di Amerika Serikat (AS), laporan berjudul Stress in America yang diterbitkan oleh American Psychological Association mengungkapkan bahwa 1 dari 5 orang Amerika memandang teknologi sebagai sumber stres yang signifikan. Tingkat stres ini makin bertambah seiring  meningkatnya penggunaan teknologi. Fenomena ini juga terjadi di belahan dunia lainnya. Karena itu, perlu dilakukan digital detox.

Digital Detox dalam Konteks Kepemimpinan

Digital detox adalah upaya untuk secara sengaja menghentikan penggunaan perangkat digital guna mengurangi penggunaan layar secara berlebihan dan meningkatkan aktivitas luar jaringan (offline). Upaya detoksifikasi digital  ini berkembang sebagai respon terhadap meningkatnya penggunaan teknologi yang nyaris tanpa kendali. Berdasarkan survei Asurion, seseorang mengecek telepon pintarnya rata-rata 96 kali per hari, atau sekali setiap sepuluh menit.

Digital detox tidak hanya berlaku bagi orang biasa, tetapi juga pimpinan organisasi.  Sebagai orang yang paling diandalkan dalam organisasi, pemimpin memang harus siap dihubungi setiap saat. Bukan hanya itu, pemimpin juga harus tanggap terhadap situasi terkini. Ini tentunya mengharuskan pemimpin menggunakan beberapa saluran dan teknologi komunikasi.

Baca :   Dead Horse Syndrome: Mengenali Waktu Tepat untuk Berubah dalam Kepemimpinan

Namun, keterlibatan digital yang berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi serius, yaitu sulit berkonsentrasi menjalankan tugas-tugas yang kompleks, berkurangnya kualitas kepemimpnan akibat tingginya stres, mempengaruhi hubungan dengan orang-orang di luar pekerjaan (seperti keluarga), dan kurangnya waktu untuk berefleksi dan berpikir secara mendalam.

Mengapa Harus Digital Detox?

Forbes mengungkap hasil penelitian yang menyatakan bahwa membatasi penggunaan media sosial dapat mengurangi tingkat stres secara signifikan. Menetapkan batasan, seperti menonaktifkan pemberitahuan kiriman, membatasi pengecekan email hingga tiga kali sehari, seperti yang tercantum dalam jurnal Computer in Human Behavior, dan menetapkan waktu khusus untuk korespondensi email, memungkinkan para pemimpin untuk mendapatkan kembali kendali atas domain digital mereka.

Digital detox memberi peluang pemimpin untuk mengisi ulang energi dan berinvestasi kembali dalam hubungan mereka yang paling penting. Penelitian dari International Journal of Environmental Research and Public Health menunjukkan bahwa melepaskan diri dari media sosial selama satu minggu saja dapat meningkatkan kesejahteraan mental dan menumbuhkan keterhubungan sosial yang lebih besar.

Baca :   Transformational Leadership vs Servant Leadership: Which one is More Relevant?

Manfaat lainnya adalah meningkatkan kemampuan berempati, lebih responsif terhadap kebutuhan orang lain, lahirnya ide-ide kreatif, dan meningkatkan kualitas komunikasi dengan pengikut atau karyawan. Menjauh dari layar memberi para pemimpin waktu untuk berpikir bebas, berideasi, dan memecahkan masalah tanpa tekanan dari kebisingan digital yang konstan.

Cara Melakukan Digital Detox

Detiksifikasi digital bisa dimulai dengan mengevaluasi kebiasaan pemimpin terkait hubungannya dengan dunia digital. Misalnya dengan mengidentifikassi waktu di depan layar setiap harinya; mengidentifikasi aktivitas digital yang paling banyak menyita waktu; dan sejauh mana aktiviotas digital berdampak terhadap kualitas kepemimpinan seseorang.

Berikutnya, untuk menghemat waktu dan melindungi kesehatan mental, pemimpin bisa membatasi komunikasi digital di luar jam kerja. Pun,  menetapkan waktu dan tempat bebas teknologi, misalnya saat liburan atau saat bersama keluarga. 

Mengatasi Tantangan Detiksifikasi Digital

Pada zaman ini, mustahil untuk  sama sekali tidak menggunakan teknologi komunikasi seperti telepon pintar. Yang bisa dilakukan adalah menggunakannya secara strategis, misalnya, menetapkan waktu untuk menanggapi pesan-pesan yang masuk ketimbang segera meresponsnya. Pemimpin juga bisa mendorong lebih banyak komunikasi tatap muka (jika memungkinkan) alih-alih mengandalkan komunikasi virtual.

Pemimpin harus lebih banyak melakukan kegiatan luar jaringan (offline). Misalnya menjelajahi alam dan berolahraga secara teratur. Membaca buku juga merupakan kegiatan yang bermanfaat. Menekuni hobi juga berdampak positif.

Baca :   Menyelami Nilai-Nilai Kepemimpinan Suku Minangkabau

Selama detoksifikasi digital, pemimpin dapat mendelegasikan tugas dan tanggung jawabnya. Percayakan tim Anda untuk menangani tugas dan membuat keputusan. Berdayakan mereka untuk bertanggung jawab. Budayakan budaya akuntabilitas.

Detoksifikasi digital juga menjadi momentum untuk mengisi kembali energi serta mengevaluasi gaya kepemimpinan, prioritas, dan tujuan Anda. Dengan demikian, Anda bisa menjadi pemimpin yang lebih baik.

Dalam detoksifikasi digital, pemimpin harus menjadi teladan. Tunjukkan pentingnya detoks digital kepada tim Anda dengan memberi contoh. Dorong mereka untuk beristirahat dari perangkat mereka dan memprioritaskan interaksi tatap muka.

Banyak pemimpin khawatir detoksifikasi digital akan mengakibatkan mereka ketinggalan informasi, peluang, dan produktivitas. Untuk mengatasi hal ini, pemimpin dapat menginformasikan rencana digital detox berikut cara alternatif untuk menghubungi pemimpin dalam situasi darurat. Jangan lupa mengevaluasi program detoksifikasi digital. Hasil evaluasi digunakan untuk memperbarui strategi detoksifikasi.

#digital detox              #detoksifikasi digital              #pemimpin                 #komunikasi               #stres

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait