Saat ini, disinformasi cepat menyebar. Opini, meski ngawur, lebih dipercaya dan diyakini kebenarannya ketimbang fakta. Dalam situasi ini, pemimpin menghadapi tantangan berat, yaitu menavigasi lingkungan pasca-kebenaran (post-truth) dan mengatasi ruang gema (echo chamber).
Keputusan yang dibuat pemimpin diharapkan bersifat rasional, didasarkan pada informasi yang benar, akurat, dan lengkap. Dengan demikian, peluang organisasi untuk sukses lebi besar. Namun, pemimpin adakalanya menjadi sasaran distorsi. Akibatnya, kepemimpinan mereka terganggu.
Sekilas Mengenal Post-Truth
Istilah post-truth sudah tidak asing bagi banyak orang. Lingkungan pasca-kebenaran adalah situasi di mana opini berdasarkan daya tarik emosional dan keyakinan lebih dipercaya daripada fakta. Fakta adalah hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.
Dalam konteks kepemimpinan, pemimpin yang beroperasi dalam situasi pasca-kebenaran lebih mengambil keputusan berdasarkan keyakinan subjektif, loyalitas, dan prasangka daripada dengan mengandalkan data dan fakta. Hadirnya media sosial, di mana orang bebas mengekspresikan dirinya tanpa kendali, turut menyuburkan fenomena pasca-kebenaran. Apatah lagi, makin banyak orang yang mengandalkan informasi melalui media sosial ketimbang media tradisional. Informasi di media sosial ini kerap ditelan mentah-mentah.
Bisa dibayangkan bagaimana kualitas keputusan yang diambil jika pemimpin beroperasi di lingkungan seperti ini tanpa reserve. Ia hanya mau menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya, tanpa peduli benar atau salah. Meski sudah ditunjukkan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya, ia tetap tak peduli. Yang ada, ia akan mencari informasi “tandingan” yang sesuai dengan seleranya. Paling buruk, ia bisa memanipulasi data untuk menjustifikasi keputusannya. Ini bisa terjadi jika pemimpin bernafsu untuk mempertahankan otoritas, menggalang dukungan, atau mencapai tujuan jangka pendek.
Sekilas Mengenal Echo Chamber

Berikutnya, mari kita bahas ruang gema. Apa itu? Echo chamber adalah sistem tertutup di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat perspektif mereka saat ini, dan mereka dicegah dari terpapar oleh berbagai informasi atau sudut pandang yang berbeda. Sistem ini biasanya hidup dalam organisasi yang tidak menoleransi perbedaan pandangan, lebih mengedepankan loyalitas ketimbang pemikiran kritis, dan pengambilan keputusan yang tidak transparan.
Dalam konteks kepemimpinan, echo chambers muncul akibat pemimpin hanya dikeliling oleh orang dengan cara dan pola pikir yang sama. Tak heran jika pemimpin semacam ini tidak mengapresiasi perbedaan pandangan. Bahkan, mereka tak segan membalas dengan menjatuhkan sanksi, apa pun bentuknya.
Mana yang Lebih Baik?
Baik post-truth maupun echo chamber sama-sama buruk bagi organisasi. Pemimpin bisa membuat keputusan berdasarkan data atau informasi yang salah. Ini tentu berbahaya baik bagi organisasi sendiri maupun khalayak.
Karena keputusan diambil bukan berdasarkan fakta atau analisis objektif, bisa saja timbul like and dislike dalam organisasi. Artinya, ada perlakuan berbeda di antara karyawan berdasarkan faktor suka dan tidak suka yang subjektif. Padahal yang disukai itu belum tentu berprestasi dan berperilaku baik, pun sebaliknya. Akibatnya, suasana kerja menjadi tidak menyenangkan.
Organisasi yang telanjur terjebak post-truth dan echo chamber biasanya tidak menyukai perubahan. Akibatnya, organisasi terancam tak lagi relevan, mengalami kemunduran, dan tidak lagi disegani.
Martabat pemimpin yang terjebak pasca-kebenaran dan ruang gema pun terancam jatuh. Terus menerus memercayai serta menyebarkan narasi yang salah membuat pemimpin kehilangan kredibilitasnya.
Jangan Menelan Mentah-Mentah
Agar tidak terjebak fenomena post-truth and echo chamber, apa yang harus dilakukan pemimpin?
Pertama, pemimpin harus rajin rajin berdialog dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Tujuannya adalah untuk memperluas wawasan sehingga keputusan yang diablil lebih bijak.
Kedua, mengutamakan fakta dan data dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, data dan fakta harus menjadi pertimbangan nomor satu saat memutuskan sesuatu, terlebih untuk hal-hal yang sifatnya strategis, yaitu sesuatu yang membutuhkan sumber daya besar, berdampak jangka panjang, dan berdampak besar (menyangkut hidup mati organisasi).
Ketiga, jangan sekali-kali menelan mentah-mentah informasi yang diterima, terutama dari media sosial. Sikap kritis mutlak diperlukan, apalagi bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang berpikir kritis mampu menganalisis informasi secara objektif, mengevaluasi bukti, dan menarik simpulan secara tepat. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dengan cara mendorong rasa ingin tahu, tidak gampang percaya, dan berpikir terbuka.

Keempat, menjamin keamanan anggota tim atau organisasi untuk mengutarakan opini, keluhan, saran, dan kritik. Mendorong perdebatan, diskusi terbuka, dan mekanisme pengungkapan pelanggaran dapat membantu memitigasi fenomena post-truth dan echo chamber.
Kelima, menggalakkan transparansi, melakukan audit secara berkala (bukan hanya keuangan), dan peduli terhadap umpan balik pemangku kepentingan. Dengan demikian, organisasi dapat mempertahankan tata kelola yang baik.
Keenam, senantiasa bersikap rendah hati. Artinya, pemimpin harus jujur mengakui bahwa masih banyak hal yang mereka tidak tahu. Jika memang bersalah, akuilah. Bertanggung jawablah atas setiap keputusan. Jangan mencari kambing hitam.
#kepemimpinan #post-truth #echo chamber #disinformasi #opini #fakta #distorsi #media sosial
Related Posts:
Mengatasi Overwork Hero untuk Tim yang Lebih Sehat dan Produktif
Green Flag vs. Red Flag Leader: Are You the Leader the Team Wants?
Digital Detox for Leaders: Reducing Dependence on Technology
Green Flag vs Red Flag Leader: Apakah Anda Pemimpin yang Dicari Tim?
Business Ethics vs. Economic Interests: The Dilemma Behind Trump’s FCPA Policy