Branding Karyawan dalam Dunia Gig Economy

Tips Mengelola Pekerja Gig

Tips Mengelola Pekerja Gig. Maraknya gig economy memaksa perusahaan mengubah cara mengelola sumber daya manusia (SDM)-nya. Sekarang, makin banyak pekerja lepas (freelancer), karyawan dengan kontrak jangka pendek, dan pekerjaan berbasis proyek. Para pekerja ini harus dikelola dengan cara-cara yang berbeda dengan karyawan tetap.

Mari mengulas sekilas tentang pekerja gig (gig workers). Pekerja gig adalah adalah pekerja tidak tetap berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu. Umumnya, kontrak pekerja gig bersifat jangka pendek, temporer, atau satu kali proyek putus. Pekerja gig bebas menentukan di mana, kapan, begaimana, dan berapa banyak dan lama mereka bekerja. Pekerja gig telah menyebar di berbagai industri, mulai dari bidang kreatif seperti penulisan dan desain grafis hingga sektor teknis seperti pengembangan perangkat lunak.

Maraknya pekerja gig disebabkan oleh platform digital dan perubahan ekspektasi tenaga kerja. Saat ini, ada jutaan orang yang menjadi pekerja gig. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara dengan jumlah pekerja gig terbanyak. Menurut sebuah studi oleh Freelancers Union dan Upwork, lebih dari 57 juta orang Amerika bekerja lepas pada tahun 2019, yang menyumbang hampir 1 triliun Dollar AS bagi perekonomian negara itu. Pertumbuhan ini terus berlanjut, didorong oleh meningkatnya pekerjaan jarak jauh dan platform digital.

Di Eropa, menurut sebuah laporan dari European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions (Eurofound), sekitar 11 persen warga benua itu terlibat dalam berbagai pekerjaan gig. Fenomena ini juga melanda negara-negara berkembang seperti India dan negara-negara di Afrika.

Baca :   Ada Apa dengan Brown Nosing?

Apa sajakah tantangan mengelola pekerja gig?

Sebagian Perusahaan boleh jadi memandang merekrut pekerja gig lebih menguntungkan. Alasannya? Kompensasi dan benefit yang dibayarkan kepada pekerja gig lebih kecil dibandingkan karyawan tetap (meski tak selalu demikian). Namun masalahya bukan hanya gaji.

Di banyak negara, status hukum pekerja gig belum jelas. Akibatnya, ada risiko ketidakpastian hukum, misalnya dalam hal perpajakan, hak-hak karyawan (seperti jaminan sosial, tunjangan kesehatan, dan cuti), serta tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja gig. Mencermati kondisi ini, Perusahaan rentan menghadapi tuntutan hukum, yang tentunya menimbulkan biaya.

Mengelola orang-orang yang berada di wilayah geografis dan (adakalanya) zona waktu yang berbeda jelas tidak mudah. Yang kerap dihadapi adalah masalah koordinasi dan komunikasi. Perusahaan harus memastikan pekerja gig yang mereka rekrut memahami ekspektasi, tenggat waktu, dan instruksi dengan baik.

Kualitas pekerjaan pekerja gig adakalanya dipertanyakan. Motivasi mereka jelas tidak sama dengan karyawan tetap. Karyawan tetap bekerja dengan sungguh-sungguh bukan hanya demi mendapatkan gaji dan menghindari sanksi, melainkan demi peningkatan karier. Inilah yang tidak dimiliki pekerja gig. Di samping itu, pekerja gig tidak paham dengan nilai-nilai dan budaya Perusahaan. Akibatnya, hasil kerja mereka, meski bagus, tidak mencerminkan nilai-nilai dan budaya Perusahaan. Yang terjadi, waktu dan biaya terbuang sia-sia.

Dari sisi loyalitas, pekerja gig tidak seloyal karyawan tetap. Banyak dari mereka yang dikontrak oleh lebih dari satu perusahaan. Bagi mereka, yang terpenting adalah pendapatan. Mereka tidak peduli dengan visi dan misi organisasi. Masalah bisa muncul tatkala pekerja gig ini harus bekerja sama dengan karyawan tetap. Bisa terjadi, pekerja gig mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan Perusahaan.

Baca :   The Threat of Gatekeeping

Keamanan data dan informasi Perusahaan bisa saja dipertaruhkan. Mengingat tuntutan pekerjaan, Perusahaan adakalanya harus memberi akses data dan informasi terhadap pekerja gig. Tak terkecuali data dan informasi yang sensitif. Padahal, keberadaan mereka bukanlah dalam jangka panjang. Bisa saja mereka secara tidak bertanggung jawab mencuri serta menyebarkan data dan informasi Perusahaan.

Tidak seperti karyawan tetap, pekerja gig tentunya tidak mendapat peluang pelatihan untuk mengembangkan keterampilan. Akibatnya, selama menjalani proyek, bisa saja keterampilan pekerja gig ini tidak relevan dengan kebutuhan Perusahaan.

Merekrut pekerja gig bisa menambah beban administratif, seperti penanganan kontrak, penggajian yang lebih rumit, dan kebutuhan untuk menjaga hubungan hukum yang baik. Meski pekerja gig workers dapat lebih murah dalam jangka pendek, biaya administrasi dan risiko hukum bisa menambah beban finansial.

Tidak seperti karyawan tetap, pekerja gig tidak mendapat fasilitas seperti asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. Akibatnya, kesejahteraan mereka lebih rentan. Selain itu, mengingat masa kerja mereka yang tidak panjang, engagement lebih sulit. Hubungan dengan karyawan perusahaan tidak terlalu akrab.

Transparansi, Hak, dan Kewajiban

Lantas bagaimana caranya menghadapi tantangan-tantangan tersebut? Awalilah dengan kontrak yang jelas. Tentunya, dalam kontrak tersebut harus dijelaskan secara spesifik tentang ruang lingkup pekerjaan, tenggat waktu, biaya, ketentuan pembayaran, perjanjian kerahasiaan, dan hak kekayaan intelektual. Kontrak ini bertujuan menjamin transparansi. Pun, memperjelas hak dan kewajiban masing-masing.

Baca :   Pendekatan Human-Centric dalam Merekrut Karyawan

Salah satu alasan orang mau menjadi pekerja gig adalah fleksibilitas. Perusahaan yang menyewa mereka harus paham hal ini. Biarkan mereka mengatur tempat dan waktu kerja mereka sendiri. Yang penting, pekerjaan beres. Tentunya, ini disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan itu sendiri. Jangan lupa menyediakan akses terhadap sumber daya perusahaan sesuai keperluan.

Seperti halnya karyawan tetap, pekerja gig juga perlu diperkenalkan dengan budaya perusahaan. Tujuannya agar hasil pekerjaan, sikap, dan perilaku pekerja gig tidak bentrok dengan nilai-nilai organisasi. Perkenalan ini dilakukan sejak awal, setelah kontrak ditandatangani.

Perusahaan harus berupaya membangun kolaborasi yang erat antara pekerja gig dengan karyawan organisasi. Misalnya dengan mengikutsertakan pekerja gig dalam acara-acara organisasi. Bisa pula dengan menawarkan mereka akses terhadap peluang pengembangan profesional.

Pekerja gig memang bukan bagian dari organisasi. Meski demikian, kontribusi mereka jelas layak dihargai. Harapannya, penghargaan ini akan membuat mereka lebih termotivasi sehingga mereka mau bekerja sama lagi di masa depan.

Tips Mengelola Pekerja Gig

Kategori: Human Capital & Talent Management

#gig economy #gig workers #pekerja gig #platform digital #status hukum #loyalitas #data #transparansi #fleksibilitas #kontrak #kolaborasi #kontribusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait