PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang dikeluarkan pemerintah pada 20 Mei 2024 menuai protes keras dari berbagai kalangan. Tidak lagi hanya menyasar pegawai negeri sipil (PNS) seperti dulu, kini kepesertaan Tapera diperluas ke pegawai swasta, BUMN, BUMD, BUMDes, TNI-Polri, sampai pekerja mandiri (Kompas.id, 30 Mei 2024).
Kepesertaan wajib di program Tapera itu pun dinilai memberatkan pekerja dan pengusaha karena adanya beban iuran sebesar 3 persen yang mesti ditanggung bersama oleh keduanya. Pekerja merasa dibebani karena penghasilannya akan dipotong 2,5 persen untuk mengiur simpanan di Tapera. Sementara pengusaha juga keberatan jika harus menanggung porsi 0,5 persen dari beban iuran itu. Apalagi, keduanya kini sudah harus menanggung beban iuran yang cukup besar pula untuk jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, dan pajak penghasilan.
Menanggapi protes dari Masyarakat, Komisioner Badan Pengelola Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho mengatakan, proses menuju implementasi kepesertaan program Tapera, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera, masih panjang. Program kepesertaan wajib Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat. Setelah menuai protes luas dari kalangan pekerja dan pengusaha, pemerintah akan terlebih dulu mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan tidak langsung menerbitkan aturan teknis mengenai Tapera.
Program yang paling lambat berlaku pada tahun 2027 itu tidak bisa diterapkan tanpa peraturan teknis oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BP Tapera. Sesuai Pasal 15 PP 21/2024, ketiga kementerian/lembaga teknis itu mesti menyusun aturan tentang dasar perhitungan besaran simpanan peserta.
Kita tunggu saja arah perkembangan polemik ini. Niat pemerintah untuk mendengarkan masukan dari pemangku kepentingan tentu kita hargai. Bukan hanya pekerja. Perusahaan pun kerap menjadi korban kebijakan dan aturan yang memberatkan.
Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) Menurut APINDO
Dari sisi dunia usaha, menurut catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Jika kita melihat perkembangan Tapera, tabungan ini pada awalnya bersifat sukarela, khususnya bagi mereka yang belum punya rumah, ingin menabung, dan tidak bisa mengakses layanan perbankan. Konsepnya mirip dengan tabungan haji, yaitu jenis simpanan yang diperuntukkan bagi umat Islam yang ingin mengumpulkan dana untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Iuran Tapera ini direncanakan agar masyarakat bisa mendapat dana murah dalam bentuk tabungan untuk pembiayaan rumah. Fokus dari kehadiran Tapera untuk membantu masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memiliki rumah.
Prinsip kesukarelaan ini sebenarnya ide yang baik. Mengapa? Semua orang tentu membutuhkan tempat tinggal yang layak. Niat pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memiliki rumah juga baik. Meski demikian, preferensi setiap orang terkait bagaimana memenuhi kebutuhan rumah atau tempat tinggal tersebut berbeda-beda. Ada pekerja yang sudah memiliki rumah sehingga tak perlu lagi menabung membeli rumah. Ada yang merasa tidak perlu membeli rumah. Dan berbagai kondisi lainnya. Intinya, Bagaimana seseorang itu memenuhi kebutuhan akan tempat tinggalnya sebaiknya diserahkan kepada tiap-tiap individu. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi pihak-pihak yang ingin memiliki rumah namun kesulitan mewujudkannya. Namun, tak perlu mewajibkan melalui aturan. Hal yang kurang lebih sama berlaku untuk dunia usaha. Memang ada perusahaan yang menawarkan fasilitas perumahan bagi karyawannya. Misalnya Perusahaan teknologi di Silicon Valley, seperti Google. Meski demikian, hal tersebut diserahkan kepada perusahaan masing-masing, yang kondisinya tentu berbeda-beda.
Altternatif lain dari Tapera adalah mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, seperti dikemukakan APINDO. Hal ini sesuai dengan regulasi PP No.55/2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaa, dimana sesuai PP tersebut, sesuai PP maksimal 30 % (138 Trilyun), maka aset JHT sebesar 460 Trilyun dapat di gunakan untuk program MLT perumahan Pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya.
Untuk mendapatkan fasilitas perumahan bisa memanfaatkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari sumber dana program JHT (Jaminan Hari Tua) untuk 4 manfaat, yaitu pinjaman KPR sampai maksimal 500 juta, Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan 150jt dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan 200jt dan d) Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK). BPJS Ketenagakerjaan sudah bekerja sama dengan Perbankan untuk mewujudkannya.
Kepesertaan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), jika diwajibkan, akan menambah beban finansial karyawan. Dari sisi pengusaha, banyaknya kewajiban semacam ini berpotensi mengurangi keuntungan dan likiuditas, menghambat kemampuan perusahaan untuk melakukan investasi, inovasi, dan ekspansi; serta menggerus daya saing. Ini tentunya tidak menguntungkan perekonomian nasional.
Kategori: Popular
#tapera
#bptapera
#apindo
#sukarela #manfaatlayanantambahan