Ribuan karyawan di perusahaan-perusahaan raksasa teknologi harus rela kehilangan pekerjaan mereka. Menurut Layoffs.fyi, sebuah situs pelacak pemutusan hubungan kerja (PHK) atau layoff di sektor teknologi, sekitar 200 ribu orang telah di-PHK sejak awal 2022. Empat perusahaan teknologi terbesar; Alphabet (induk perusahaan Google), Meta (Facebook), Amazon, dan Microsoft telah mengumumkan lebih dari 50 ribu pengurangan karyawan beberapa bulan terakhir.
Pengurangan karyawan ini dilakukan justru saat profit perusahaan-perusahaan teknologi tersebut melonjak. Menurut Forbes, masifnya perekrutan pada masa pandemi, kondisi setelah pandemi mereda, dan kondisi ekonomi terkini turut berpengaruh terhadap pengurangan ini.
Seiring pembatasan sosial akibat pandemi, aktivitas daring (online) makin marak. Dampaknya, perusahaan-perusahaan teknologi untung besar. Banyak perusahaan memandang hal ini sebagai kenormalan baru. Hampir semua karyawan bekerja dari rumah. Oleh karenanya, mereka merekrut karyawan dalam jumlah besar. Amazon, misalnya. Sejak 2019, perusahaan ritel daring ini telah menambah karyawannya sehingga menjadi 728 ribu orang. Saking besarnya, disebut-sebut terjadi perang talenta (talent war). Maklumlah, yang diperebutkan kebanyakan adalah para insinyur perangkat lunak (software engineer), yang keahliannya banyak dibutuhkan di era digital. Untuk memikat para insinyur ini, masing-masing perusahaan berlomba-lomba menawarkan gaji selangit.
Realitas selanjutnya? Meski cara bekerja dari rumah semakin diterima, model kerja hibrida agaknya lebih disukai. Perusahaan tetap menginginkan adanya waktu bertatap muka dengan karyawan untuk saling berbagi gagasan dan berkolaborasi, Di luar pekerjaan, situasi saat ini praktis sudah seperti sebelum pandemi. Orang berbondong-bondong untuk berkumpul secara fisik setelah lebih dari dua tahun terkurung di rumah.
Yang menjadi masalah utama adalah kelesuan ekonomi, ditandai dengan melambatnya pertumbuhan, meningkatnya inflasi, dan kemungkinan terjadinya resesi. Inilah alasan utama yang dikemukakan oleh para pimpinan perusahaan teknologi. Mereka mengakui telah jorjoran merekrut begitu banyak talenta, keliru memprediksi berlangsungnya akselerasi pandemi. Salah satunya disampaikan oleh Andy Jassy, Chief Executive Amazon, seperti dikutip New York Times. Setelah pandemi, orang mengharapkan ekonomi meroket. Namun, Perang Rusia-Ukrainia mengubah segalanya.
Pengurangan pekerja, termasuk yang banyak dilakukan perusahaan teknologi, tentunya menjadi realitas pahit bagi karyawan. Meski demikian, dampaknya juga harus diantisipasi oleh dunia usaha, termasuk terhadap karyawan yang tidak terkena layoff. Salah satunya persepsi mereka terhadap perusahaan boleh jadi tidak sama lagi. Mereka boleh jadi akan merasa gamang. Belum lagi isu hubungan kerja yang harus ditata ulang Tentunya ini dengan catatan bahwa layoff terjadi bukan karena faktor perilaku atau kompetensi karyawan.
Berikutnya proses yang adil serta komunikasi yang baik. Karyawan berhak mendapatkan perlakuan yang adil, terhormat, dan transparan. Termasuk di dalamnya alasan perusahaan melakukan layoff, yang harus masuk akal serta dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana pun, mereka telah berkontribusi bagi perusahaan. Pun, mereka adalah manusia yang punya perasaan, ego, dan kebutuhan.
Sebuah penelitian dari Cascio mengungkapkan bahwa layoff ternyata berdampak negative terhadap harga saham perusahaan. Ini ternyata berlaku tanpa memandang waktu, wilayah, dan jenis perusahaan. Agaknya, hal ini lantaran anggapan bahwa perusahaan yang melakukan layoff pastilah sedang dirundung masalah. Di samping itu, menurut Pfeifer, layoff tak berkorelasi dengan produktivitas. Pun tak selalu menyelesaikan masalah yang kerap dialami banyak perusahaan, semisal strategi yang tak efektif dan hilangnya pangsa pasar. Paling utama, layoff seyogianya dilakukan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada jalan lain, setelah upaya-upaya memperbaiki kondisi perusahaan memang sudah dilakukan maksimal. ©The Jakarta Consulting Group