Ada Apa dengan CSR (Corporate Social Responsibility)

Ada Apa dengan CSR (Corporate Social Responsibility)?

Di era modern, perusahaan tak hanya dituntut menghasilkan keuntungan, tetapi juga berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan. Lahirlah konsep Corporate Social Responsibility (CSR), sebuah payung luas bagi berbagai kegiatan perusahaan yang bertujuan untuk memberikan dampak positif bagi pemangku kepentingan.

Namun, di balik gemerlap citra dermawan, CSR tak luput dari kontroversi. Kritik pedas menyeruak, mempertanyakan ketulusan dan efektivitas program CSR. Benarkah CSR hanyalah strategi pencitraan semata, ataukah memang bentuk komitmen nyata perusahaan terhadap keberlanjutan? Misalnya, kampanye BP “Beyond Petroleum” bertujuan untuk mengubah citra perusahaan menjadi ramah lingkungan. Namun, tumpahan minyak Deepwater Horizon pada tahun 2010 mengungkap kesenjangan antara pesan CSR BP dan praktik sebenarnya, sehingga menimbulkan kritik luas dan tuntutan akuntabilitas yang lebih besar. Contoh lainnya adalah Nike, yang harus menghadapi hujan kritik lan taran praktik ketenagakerjaan yang dinilai tidak etis. Menganggapi hal tersebut, Nike menerapkan program CSR yang komprehensif, termasuk memantau praktik ketenagakerjaan dan meningkatkan kondisi kerja. Meskipun upaya ini mendapat pujian, namun pihak yang skeptis berpendapat bahwa upaya tersebut lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap hubungan masyarakat dibandingkan komitmen tulus terhadap tanggung jawab sosial.

Ada Apa dengan CSR (Corporate Social Responsibility)?

Tentu bukan tanpa alasan mengapa praktik CSR, yang ide dasarnya sebenarnya baik ini, menuai kritik. Paling sering dilontarkan adalah banyak perusahaan yang memperlakukan CSR sebagai komitmen yang dangkal dan bukan upaya tulus untuk mendorong perubahan positif. Contohnya adalah fenomena greenwashing. Perusahaan mengklaim telah berbuat banyak bagi kelestarian lingkungan, padahal sebenarnya tidak. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin mempromosikan penggunaan kemasan ramah lingkungan namun mengabaikan dampak lingkungan yang lebih besar dari proses produksinya. Hal ini tentunya merusak kredibilitas CSR sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadapnya. Tatkala lebih mengutamakan promosi ketimbang substansi, perusahaan tentu saja tak berkontribusi signifikan terhadap masalah sosial dan lingkungan masyarakat.

Baca :   Definisi Glass Ceiling: Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasi

Kritik berikutnya, tiadanya transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dan akuntabilitas sangat penting bagi keberhasilan setiap inisiatif CSR. Sayangnya, banyak perusahaan yang tidak memedulikannya. Tanpa pelaporan yang jelas dan jujur, efektivitas CSR sulit diukur. Perusahaan sering kali menggunakan kriteria yang tidak jelas dan tidak konsisten untuk mengevaluasi inisiatif CSR. Kalau sudah begini, siapa yang mau percaya?

Meski ditambah kata-kata tanggung jawab sosial, perusahaan tetaplah perusahaan. Tujuannnya mencari untung. Hal ini tentu tidak salah. Justru, melalui keuntungan inilah perusahaan mampu berkontribusi bagi perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat. Yang jadi masalah adalah jika CSR ini sekadar bentuk pencitraan. Lebih parah lagi jika aktivitas CSR dijadikan sebagai topeng untuk menutup praktik-praktik tercela perusahaan, seperti kecurangan atau praktik ketenagakerjaan yang menyimpang. Sayangnya, praktik semacam ini masih suka ditemui.

Efektivitas penerapan CSR juga tak luput dari sasaran kritik. Agar efektif, pelaksanaan CSR membutuhkan strategi yang matang, sumber daya yang cukup, dan komitmen jangka panjang. Kenyataannya, banyak perusahaan yang gagal memenuhinya. Akibatnya, pelaksanaan CSR menjadi sia-sia.

Ruang lingkup dan dampak CSR kerap kali terbatas. Meskipun beberapa perusahaan benar-benar berupaya untuk membuat perbedaan, upaya mereka sering kali terhambat oleh sempitnya fokus inisiatif mereka. Banyak program CSR yang terbatas pada proyek atau wilayah tertentu, sehingga gagal mengatasi permasalahan sistemik yang lebih luas. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin mendanai program pendidikan di satu komunitas sambil mengabaikan isu-isu yang lebih besar, yaitu kesenjangan pendidikan dan hambatan akses yang sistemik. Meskipun upaya-upaya lokal ini dapat memberikan manfaat langsung, upaya-upaya tersebut tidak banyak membantu mengatasi akar permasalahan yang ingin mereka selesaikan. Untuk menciptakan perubahan yang bertahan lama, perusahaan harus mengadopsi pendekatan CSR yang lebih holistik, dengan mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan berupaya mencapai solusi yang sistemik.

Baca :   Definisi Glass Ceiling: Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasi

Kelemahan mendasar dalam banyak inisiatif CSR adalah ketidakselarasan dengan praktik bisnis inti perusahaan. Perusahaan yang benar-benar ingin memberikan dampak positif harus memasukkan tanggung jawab sosial dan lingkungan ke dalam operasi inti mereka. Misalnya, perusahaan yang mempromosikan kelestarian lingkungan melalui program CSR juga harus memastikan bahwa praktik rantai pasokan, proses manufaktur, dan manajemen siklus hidup produk selaras dengan nilai-nilai ini. Jika aktivitas CSR tidak selaras dengan bisnis inti perusahaan, upaya yang dilakukan akan tampak tidak tulus dan kecil kemungkinannya untuk mencapai hasil yang signifikan.

Agar efektif, CSR mensyaratkan partisipasi aktif pemangku kepentingan. Termasuk karyawan, pelanggan, pemasok, dan komunitas. Namun kerap terjadi sebaliknya. Padahal, tanpa masukan dan partisipasi stakeholders, CSR tidak akan tepat sasaran.

CSR tak Bermanfaat?

Semua kritik di atas sama sekali tidak berarti perusahaan harus menolak CSR. Sekali lagi, tidak demikian. Bahkan sebaliknya. CSR yang tepat sasaran justru menghasilkan sederet manfaat. Mulai dari mendongkrak reputasi, menciptakan keunggulan bersaing, membentuk loyalitas karyawan, meningkatkan efisiensi, mengurangi risiko, hingga mengundang investor. Dari sisi masyarakat, aktivitas CSR, meski tak selalu terlalu signifikan, membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat, kelestarian lingkungan, pemberdayaan komunitas, dan pendidikan.

Kritik terhadap CSR sebagian besar merupakan respons terhadap kesenjangan antara intensi dengan implementasi. Sebagai contoh, faktanya memang ada perusahaan yang membuat klaim palsu mengenai inisiatif lingkungan atau sosial yang mereka lakukan. Begitu juga dengan manipulasi data dan penghindaran pengawasan akibat tiadanya standar pelaporan yang jelas; Namun, hal ini tidak akan terjadi jika perusahaan sejak awal menjunjung tinggi etika. Dengan kata lain, etika harus menjadi panduan dalam berperilaku, termasuk dalam menjalankan CSR.

Baca :   Definisi Glass Ceiling: Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasi

Memang sudah menjadi kodrat perusahaan untuk mencari untung. Yang jadi masalah adalah jika perusahaan terobsesi dengan keuntungan finansial jangka pendek sehingga tidak memedulikan lingkungan dan masyarakat. Apatah lagi jika untuk menutupi jejak hitamnya, perusahaan menggunakan CSR sebagai sekadar topeng pelindung. Oleh karenanya, perusahaan harus memperlakukan CSR sebagai kebijakan dan aktivitas yang berdimensi jangka panjang.

Perusahaan harus berinvestasi dalam membangun kapasitas dan keahlian yang diperlukan untuk merancang dan melaksanakan program CSR yang efektif. Hal ini mencakup pelatihan karyawan, kemitraan dengan LSM dan pakar, serta pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan dampak CSR.

Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan sangat penting untuk mengukur efektivitas inisiatif CSR dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. Perusahaan harus membangun sistem yang kuat untuk melacak kemajuan, mengumpulkan masukan, dan membuat penyesuaian berdasarkan data terhadap program CSR yang selama ini dijalankan.

Kategori: Innovation & sustainability

#csr

#kritik

#greenwashing

#bp

#nike

#manfaat

#reputas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait